Jakarta, CNN Indonesia -- Pemberitaan kantor berita China, Xinhua, mengenai rencana kunjungan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Ban Ki-moon, ke Korea Utara pada pekan depan dengan cepat tersebar. Namun, kabar tersebut ditampik oleh juru bicara PBB.
"Sekretaris Jenderal tidak akan pergi ke DPRK pekan depan," ujar seorang juru bicara PBB dalam pernyataan resminya seperti dikutip Reuters, Rabu (18/11).
Namun, juru bicara PBB tersebut menekankan bahwa Ban selama ini memang sangat ingin mengambil peran penting dalam upaya rekonsiliasi di Korea.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekjen sudah berkali-kali mengatakan bahwa ia ingin mengambil peran konstruktif, termasuk pergi ke DPRK, dalam upaya perdamaian, stabilitas, dan dialog di Semenanjung Korea," katanya.
Sebelumnya, Xinhua mengabarkan bahwa Ban akan tiba pada Senin mendatang dan memulai lawatannya selama empat hari. Belum dilampirkan jadwal kegiatan Ban selama di Korut.
Pada Senin (16/11), kantor berita Korsel, Yonhap, juga memberitakan bahwa Ban akan mengunjungi Korut pada pekan ini.
Namun melalui pernyataan ini, juru bicara PBB menyatakan bahwa Ban akan berada di New York dan terbang ke Malta untuk menghadiri Commonwealth Summit yang dimulai pada 27 November. Setelah itu, ia akan pergi ke Paris untuk menghadiri konferensi perubahan iklim PBB yang dimulai pada 30 November.
Korut sendiri kini sedang dijatuhi berbagai sanksi melalui resolusi Dewan Keamanan PBB akibat program uji coba nuklirnya.
Hingga saat ini, Korut sudah menerima tiga kali kunjungan Sekjen PBB, yaitu Kurt Waldheim pada 1979 dan 1981, serta Boutros Boutros-Gali 1993.
Ban pada tahun ini sebenarnya sudah dijadwalkan mengunjungi Korut untuk bertandang ke taman industri yang dioperasikan bersama oleh kedua negara Korea. Namun, Korut mencabut izin perjalanan tersebut di menit-menit terakhir tanpa penjelasan.
Ban sendiri pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Korsel pada 2004-2006. Selama menjabat, Ban selalu mengupayakan negosiasi multinasional untuk menghentikan program nuklir Korut.
Korut dan Korsel secara teknis masih dalam kondisi perang karena konflik kedua negara pada 1950-1953 diakhiri dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai.
Setelah mengalami pasang surut hubungan, kedua negara Korea tersebut mengadakan pertemuan tingkat tinggi pada Agustus lalu. Mereka sepakat untuk memperbaiki hubungan.
(stu/stu)