Jakarta, CNN Indonesia -- Menumpuknya masalah di negara-negara konflik dan berkembang membuat upaya membendung gelombang imigran menjadi masalah besar dunia. Guna mengatasi masalah ini, Indonesia mengundang perwakilan 13 negara terkait untuk hadir dalam Jakarta Declaration Roundtable Meeting on Addressing the Root Causes of Irregular Movement of Persons pada 27-28 November mendatang di Jakarta.
"Masalah migrasi ini sudah meluas dan harus dibicarakan dari akar permasalahannya. Bagaimana kita mencabut akarnya agar tidak tumbuh lagi," ujar Kasubdit Penanggulangan Kejahatan Lintas Negara, Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri, Faizal Chery Sidharta, dalam jumpa pers di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Kamis (26/11).
Agar dapat membicarakan akar masalah dengan komprehensif, maka Indonesia sebagai wilayah persinggahan mengundang negara asal imigran, yaitu Afghanistan, Australia, Bangladesh, Kamboja, Malaysia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini, Filipina, Selandia Baru, Thailand, dan Sri Lanka. Hingga kini, Indonesia juga masih menunggu konfirmasi dari Iran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami akan membicarakan peluang kerja sama migrasi, apa yang bisa dilakukan antar negara untuk memecahkan masalah hingga akarnya," kata Chery.
Sebelumnya, Direktur Multilateral Kementerian Luar Negeri, Hasan Kleib, menekankan bahwa Indonesia juga akan mengajukan upaya kampanye di negara asal.
"Kita kampanye bahwa penyeberangan berbahaya dan belum tentu berhasil," ucap Hasan.
Selain itu, peserta dialog juga akan membahas akar masalah mengapa para imigran ingin hijrah dari negara asalnya. "Apa masalah yang ada di sana, kita coba bantu agar semua masalah jelas," kata Hasan.
Tak hanya masalah di negara asal, pertemuan ini juga akan membahas isu dan upaya penanggulangan di daerah tujuan. Oleh karena itu, Indonesia juga mengundang perwakilan dari Australia.
Sebelumnya, Indonesia sebagai salah satu negara persinggahan mengkritik kebijakan "zero entry" di Australia yang menjadi tempat tujuan para pencari suaka.
Menurut Hasan, di bawah kebijakan tersebut, Australia tidak lagi menerima imigran. Para pencari suaka tersebut lantas ditampung di pusat-pusat penanganan tepi pantai dan kerap mendapat perlakuan tak adil.
Hasan mengatakan, Indonesia menghargai kebijakan dalam negeri Australia. "Bahwasanya Australia punya kebijakan nasional. Dia zero entry, itu haknya Australia sebagai negara merdeka dan berdaulat," kata Hasan.
Namun, Hasan menganggap kebijakan tersebut juga membawa dampak pada keadaan di kawasan regional Asia Pasifik. Pasalnya, sebagian imigran yang tak tahan di pusat penampungan akhirnya bergerak kembali ke negara-negara persinggahan, termasuk Indonesia.
Sementara itu, di Indonesia sendiri masih menampung 13 ribu imigran yang belum jelas nasibnya.
"Itu juga akhirnya jadi beban di Indonesia. Mengingat kebijakannya berdampak pada kawasan, mohon kiranya jika kebijakannya juga dibicarakan, duduk bersama, dan berbagi tanggung jawab dalam masalah perbatasan," ucap Hasan.
Pertemuan ini juga akan dihadiri oleh UNHCR, IOM, UNDP, dan UNODC.
(stu)