Jakarta, CNN Indonesia -- Berbagai serangan teror yang diluncurkan oleh ekstremis dengan mengatasnamakan agama Islam belakangan ini dikhawatirkan akan meningkatkan sentimen anti-Islam atau Islamofobia di negara-negara Barat.
Erwin Sugiharto, 28, seorang warga negara Indonesia yang tinggal di Atlanta, Amerika Serikat, mengaku kerap merasa tidak nyaman setiap mendengar adanya serangan yang pelakunya Muslim. Menurut pria yang telah tinggal di AS sejak tahun 2000 ini, setelah serangkaian serangan teror di Paris pada November lalu, misalnya, kini masyarakat semakin punya alasan untuk membenci Islam.
"Mereka yang tadinya tidak terusik, akhirnya jadi ikutan Islamofobia. Mereka tahunya ISIS itu representasi Muslim," ujar Erwin ketika dihubungi CNN Indonesia, Jumat (4/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Erwin, yang bergabung dalam IKMIA (Ikatan Keluarga Muslim Indonesia Atlanta) memaparkan sentimen Islamofobia di AS sudah terasa sejak insiden 9/11. Menurutnya, sejak saat itu pemerintah AS berhati-hati dengan imigran Muslim dengan dipersulit mendapatkan visa untuk negara-negara Islam, termasuk Indonesia. "Orang-orang betul-betul di-
screening. Jadi setelah 9/11 kita merasa lebih sulit," kata Erwin.
Erwin mengaku hingga saat ini dirinya belum pernah merasakan langsung Islamofobia di AS. Menurutnya, warga AS tidak langsung mengutarakan sentimen anti-Islam atau secara langsung menjauhi warga Muslim.
"Misalnya saya tadi siang di restoran, ada temen yang
nyeletuk, 'Eh itu penembakan di California'. Maksudnya apa? Sebagai umat Muslim di Amerika, kita merasa tersudutkan. Kejadian ini memicu orang Amerika semakin menjauhi Islam, bahkan membenci umat Islam," ujar Erwin.
Sentimen Islamofobia kian kuat terasa, lanjut Erwin, ketika terjadi aksi protes dan vandalisme di sejumlah masjid di Amerika yang terjadi beberapa waktu lalu. Kala itu, warga Muslim di masjid Erwin diimbau untuk tetap tenang dan jangan memberikan reaksi yang berlebihan.
"Walaupun mereka teriak [bersumpah serapah] di depan masjid,
biarin aja, jangan dibalas," kata Erwin.
Meski Islamofobia kuat terasa, Erwin memaparkan sebagian media di AS memberitakan penembakan yang terjadi di fasilitas penyandang disabilitas pada Rabu (2/12) lalu dengan cukup objektif, meskipun tersangka penembakan diketahui merupakan warga Muslim.
Terkait maraknya penembakan di AS, Erwin menilai faktor bebasnya kepemilikan senjata maupun perilaku pemegang senjata sangat berpengaruh. Dia mengatakan, warga yang memiliki senjata biasanya cenderung ingin menembak. Sehingga menurutnya lebih baik senjata tidak dijual secara bebas.
"Senjata mudah dibeli di toko gadai, iklan baris. Dari segi kebebasan itu bagus, kita bisa memiliki senjata, tapi jeleknya, orang menyalahgunakan kepemilikan senjata untuk hal-hal buruk," kata Erwin.
Erwin memaparkan saat ini persentase Muslim di Atlanta rata-rata imigran yang sebagian besar berasal dari Pakistan, Bangladesh, Indonesia, Afrika, dan Timur Tengah. Ditanya apakah ada paham radikal di antara komunitas Muslim di Atlanta, Erwin menyatakan dirinya belum pernah menemukan warga Muslim yang radikal
"Belum pernah melihat atau mendengar yang radikal. Justru setelah kejadian Paris, kita malah mengecam. Yang
radicalized itu biasanya dari luar, bukan dari dalam sini," ujar Erwin.
(ama/ama)