Jakarta, CNN Indonesia -- Keluarga dari Ahmed Mohamed, remaja Muslim Texas, Amerika Serikat, yang dianggap korban Islamofobia, menuntut kompensasi total US$15 juta atau setara Rp205,2 miliar dan permohonan maaf dari perwakilan daerah Irving, Dallas. Jika tidak, keluarga mengancam akan melayangkan tuntutan.
Mohamed menjadi sorotan dunia ketika ia ditangkap di sekolahnya, MacArthur High School, lantaran membawa jam digital rakitan ke ruang kelas pada 14 September lalu. Sang guru mengira jam tersebut adalah bom dan Mohamed dicokok polisi untuk diinterogasi.
Kini, keluarga Mohamed menuntut US$10 juta (setara Rp136,8 miliar) dari Dallas dan US$5 juta (setara Rp68,4 miliar) dari daerah sekolahnya di Irving. Jika tidak, mereka akan melayangkan surat tuntutan dalam kurun waktu 60 hari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sangat dimengerti, Ayah Mohamed sangat marah dengan perlakuan terhadap anaknya dan maksud diskriminasi yang memotivasi perlakuan tersebut," demikian kutipan pernyataan resmi pengacara Mohamed.
Pemerintah daerah Irving menyatakan bahwa pengacara mereka sedang mempelajari surat tersebut dan akan meresponsnya secepatnya. Namun, pemerintah Kota Dallas belum dapat dihubungi Reuters untuk dimintai keterangan.
Pada Oktober lalu, keluarga Mohamed mengatakan bahwa mereka akan pindah ke Qatar karena anaknya menerima tawaran untuk mengikuti program belajar Young Innovators dari Qatar Foundation.
Kabar tersebut disampaikan hanya berselang beberapa jam setelah Mohamed menghadiri malam astronomi di Gedung Putih atas undangan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama.
Berbagai institusi teknologi, seperti Massachusetts Institute of Technology, Facebook, Google, hingga NASA juga menyatakan dukungannya dan mengundang Mohamed ke markas mereka.
Keluarga Mohamed yang kini tinggal di Doha pun sudah melakukan perjalanan ke berbagai negara untuk bertemu dengan beberapa orang terkemuka.
Stasiun radio negara Sudan bahkan mengabarkan bahwa ayah Mohamed mengajak anaknya bertemu dengan Presiden Sudan, Omar al-Bashir. Pemimpin Sudan ini dituntut oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas tuduhan genosida, kejahatan terjadap kemanusiaan, dan kejahatan perang selama konflik Darfur.
Terlepas dari sorotan berbagai media dan perjalanan ke berbagai negara, keluarga Mohamed mengatakan bahwa perhatian publik tersebut menghancurkan kehidupan mereka.
(den)