Jakarta, CNN Indonesia -- Meski ada perdebatan ihwal pendanaan, para kepala negara di KTT Perubahan Iklim PBB yang digelar di Paris, Perancis sejak 30 November optimis bakal mencapai titik temu akhir pekan ini.
Harapan itu ditegaskan dengan lantang oleh Menteri Luar Negeri Perancis, Laurent Fabius, yang memimpin negosiasi menuju perjanjian mengikat pada 11 Desember mendatang.
"Kita harus menghormati sasaran yang kita buat untuk kita sendiri. Tujuan, cara, dan waktunya sudah jelas." ujar Fabius, bersama tokoh dunia lainnya seperti Menteri Luar Negeri AS, John Kerry.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Janji yang dikukuhkan di Paris memang tak akan cukup untuk mencegah kenaikan suhu bumi ke titik berbahaya, yakni 2 derajat Celcius. Namun, setidaknya negara-negara maju semakin sadar untuk memberi dana lebih kepada negara-negara berkembang yang masih amat bergantung pada energi fosil, serta rentan banjir, kekeringan, badai, dan peningkatan permukaan air laut sebagai imbas kenaikan suhu tersebut.
Di Paris, negara-negara kaya telah berkomitmen untuk menyediakan dana sebesar US$100 miliar (Rp1,3 triliun) per tahun hingga 2020. Akan tetapi, sejauh mana jumlah itu harus ditingkatkan, dan bagaimana negara-negara kaya baru mesti berkontribusi?
"Saya melihat ada peningkatan pendapat bahwa angka US$100 miliar itu titik tolak, bukan akhir," Christiana Figueres, pejabat tinggi PBB di Paris menuturkan kepada Reuters, Senin (7/12). "Apakah kita sudah sampai pada jumlah US$100 miliar? Belum. Namun kita semakin dekat."
Sementara itu, Menteri Lingkungan, Hutan, dan Perubahan Iklim India, Shri Prakahsh Javadekar, melihat angka itu sebagai "komitmen yang harus dipenuhi sejumlah negara."
Bagi petinggi negara yang ekonominya memang bergantung erat pada batu bara, transformasi menuju energi terbarukan secara global sebetulnya butuh biaya triliunan dolar. Namun US$100 miliar sendiri sudah merupakan "langkah simbolik nan penting, dan tidak ada yang boleh lari dari komitmen tersebut."
Selain soal angka, jenis pengeluaran tak kalah jadi perdebatan. Baik berupa dana publik maupun swasta, dana baru atau lama, negara-negara berkembang terus menolak upaya negara-negara maju yang hendak menggunakan skema pendanaan serupa seperti yang sudah-sudah demi mencapai ambang batas US$100 miliar.
Dukungan globalPekan kedua KTT Iklim dibuka oleh pidato Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, yang menyinggung adanya "gelombang besar dukungan untuk kesepakatan yang kuat dan universal di luar balai ini."
Ban turut mendesak perwakilan dari hampir 200 negara yang hadir agar siap menghadapi pilihan sulit demi memangkas emisi gas rumah kaca pada 2020, supaya KTT tahun ini tak berujung percuma layaknya beberapa tahun terakhir.
"Dunia mengharapkan yang lebih dari Anda ketimbang langkah yang setengah-setengah, dan pendekatan yang sedikit-sedikit," Ban menegaskan.
Menurutnya, kesepakatan akhir mesti memuat ulasan komitmen dengan rentang lima tahun, dimulai dari tahun 2020, yang disebut terlalu dini oleh sejumlah negara berkembang. Sektor swasta harus diberi sinyal yang jelas bahwa pengurangan emisi tak pelak juga tanggung jawab mereka.
Kini, semua itu berada di tangan para menteri yang jadi perwakilan negara, bersama kepentingan politik yang mereka bawa.
Fabius telah membentuk komite kerja yang dikepalai oleh kelompok kecil menteri dari sejumlah negara untuk memecahkan perbedaan yang masih menghantui.
"Kesepakatan harus mulai kita bentuk pada Kamis, jika ingin mencapai target pada Jumat," ujar Menlu AS, John Kerry. "Dan saya pikir semua orang mau mematangkannya."
(stu)