Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga hak asasi manusia Human Rights Watch mengatakan bahwa puluhan komandan dan pejabat militer Sudan Selatan yang dituding anak-anak merekrut mereka sebagai tentara harus diinvestigasi.
PBB mengatakan bahwa 16 ribu anak-anak bergabung dengan kelompok bersenjata sejak perang sipil di Sudan Selatan meletus dua tahun lalu.
"Ini adalah perekrutan brutal yang paling memilukan hati," kata Skye Wheeler dari HRW seperti dikutip Reuters, Selasa (15/12). "Pasukan datang melalui desa mereka dan menangkap mereka dan memaksa mereka ke dalam pertempuran. Ini adalah negasi mutlak atas hak-hak dasar mereka sebagai anak-anak, juga sebagai manusia, untuk tidak diperlakukan seperti umpan meriam."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perang sipil di Sudan Selatan meletus pada Desember 2013 saat krisis politik dipicu pertempuran antara pasukan yang setia kepada Presiden Salva Kiir dan pemberontak yang bersekutu dengan mantan wakilnya, Riek Machar.
Konflik ini kemudian membuka kembali perselisihan antar etnis Kiir, Dinka, dengan etnis Machar, Nuer.
Sebuah kesepakatan damai ditandatangani pada Agustus lalu namun kedua belah pihak telah berulang kali menuduh satu sama lain melanggarnya.
Sepertiga dari 74 anak laki-laki yang diwawancarai mengatakan mereka direkrut paksa, sering kali di bawah todongan senjata.
Banyak yang mengatakan mereka ditahan sampai mereka setuju untuk melawan atau hanya diculik, menyerahkan senjata dan dikirim ke medan perang.
"Saya tak punya pengalaman memegang pistol sebelumnya," kata salah satu anak laki-laki yang diculik dari sekolah oleh pasukan oposisi. "Mereka mengatakan kepada kami begini cara Anda menggunakannya...Kemudian kami mulai bertempur."
Sekitar setengah dari anak laki-laki yang diwawancarai mengatakan mereka rela bergabung kelompok bersenjata untuk melindungi diri mereka sendiri dan komunitas mereka.
"Tanpa perlindungan pistol dan kelompok bersenjata, banyak anak laki-laki percaya bahwa mereka akan menjadi lebih rentan dibunuh," menurut laporan HRW.
Setengah dari tentara anak yang diwawancarai bertempur atau bekerja untuk pasukan pemerintah atau sekutu mereka.
Di antara nama-nama yang paling sering dikutip dalam laporan tersebut adalah Matthew "Pul" Puljang, seorang komandan etnis Bul Nuer yang bertempur dalam milisi Negara Kesatuan sebelum bergabung dengan pemerintah pada April 2013.
Juru bicara militer Sudan Selatan Philip Aguer mengatakan Satuan Perlindungan Anak telah berencana untuk menyelidiki Puljang terkait tuduhan menggunakan tentara anak pada 2013.
"Tapi kunjungan itu terganggu oleh kekerasan dan akhirnya tak pernah terjadi," katanya. "Kami menyambut semua investigasi untuk membuktikan dugaan."
HRW juga menyerukan mantan pemberontak lain yang telah bergabung dengan pihak pemerintah, David Yau Yau, untuk diselidiki.
Yau Yau telah membebaskan 1.755 tentara anak dari pihaknya sejak ia menandatangani kesepakatan damai dengan pemerintah pada 2014.
"Ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan melepaskan anak-anak itu,” kata Wheeler. “Perlu ada pertanggungjawaban komandan yang telah merekrut dan menggunakan tentara anak untuk mengakhiri siklus tak berujung ini."
(stu)