Jakarta, CNN Indonesia -- Arab Saudi memperlebar keretakan dengan Iran dengan mengancam akan mengakhiri perdagangan dan penerbangan dari dan menuju Republik Islam Iran. Saudi menuntut Teheran harus "bertindak seperti sebuah negara normal" jika ingin memulihkan hubungan diplomatik yang terputus.
Menteri Luar Negeri Saudi, Adel al-Jubeir menyatakan kepada Reuters dalam sebuah wawancara bahwa Teheran bertanggung jawab atas meningkatnya ketegangan di kawasan, utamanya setelah Saudi mengeksekusi ulama Syiah, Sheikh Nimr al-Nimr pada Sabtu (2/1).
Saudi menilai Nimr merupakan seorang teroris, sementara Iran menganggapnya sebagai kritikus yang vokal menyuarakan kesetaraan hak warga Syiah di tengah mayoritas Sunni di Saudi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bersikeras bahwa Riyadh akan bereaksi terhadap "agresi Iran", Jubeir menuduh Teheran mengirimkan pejuang ke negara-negara Arab dan merencanakan serangan dari dalam kerajaan Saudi dan sejumlah negara Teluk.
"Tidak ada eskalasi dari Saudi Arabia. Semua langkah kami merupakan langkah yang reaktif. Warga Iran yang masuk ke Lebanon. Iran yang mengirim Angkatan Qods dan Garda Revolusi mereka ke Suriah," kata Jubeir, Senin (4/1).
Klaim ini ditampik Teheran yang menyatakan bahwa pihaknya hanya mengirim penasihat militer ke Suriah dan Irak atas permintaan pemerintah mereka, dan menyangkal merencanakan teror di negara-negara Teluk.
"Kami juga akan menghentikan semua penerbangan dari dan menuju Iran. Kami akan memotong semua hubungan komersial dengan Iran. Dan kami akan melarang warga untuk bepergian ke Iran," kata Jubeir.
Meski demikian, peziarah Iran masih akan dipersilakan mengunjungi situs suci Islam di Mekkah dan Madinah di Saudi, baik untuk menunaikan ibadah haji tahunan maupun umrroh.
Namun, Jubeir mengatakan langkah Saudi mengeksekusi Nimr merupakan langkah yang tepat. Saudi menilai Nimr "melakukan agitasi, mengorganisasi sel teror, memasok senjata dan uang kepada mereka." Tuduhan Saudi ini ditolak oleh keluarga sang ulama.
Nimr dieksekusi pada Sabtu (2/1) bernama 46 tersangka teroris lainnya, 43 di antaranya merupakan anggota al-Qaidah. Terkait hal ini, Jubeir menilai, "Kami seharusnya mendapat tepuk tangan, bukan dikritik."
Jubeir merupakan mantan duta besar untuk Washington. Pada 2011, FBI mengungkapkan bahwa Jubeir menjadi sasaran rencana pembunuhan oleh warga Iran. Jubeir memaparkan bahwa pemutusan hubungan diplomatik dengan Iran merupakan tanggapan Saudi kepada sejumlah masalah sebelumnya dengan Iran, dan juga reaksi atas penyerbuan warga Iran ke kantor kedutaan besar Saudi di Teheran pada Minggu (3/1).
"[Ini] merupakan reaksi terhadap kebijakan agresif Iran selama bertahun-tahun, dan khususnya selama beberapa bulan terakhir. Rezim Iran telah menjadi sponsor terorisme, mereka telah menyiapkan sel-sel teroris di Arab Saudi dan sejumlah negara lainnya,"katanya.
Teheran secara konsisten membantah tuduhan Saudi dan menuduh Riyadh mendukung militansi melalui dukungan atas gerilyawan yang memerangi Presiden Suriah, Bashar al-Assad.
Jubeir juga menuduh pihak berwenang Iran terlibat dalam serangan di kedutaan besar Saudi pada akhir pekan, dan menyatakan diplomat Saudi melihat pasukan keamanan memasuki gedung dan turut ambil bagian dalam penjarahan gedung tersebut. Polisi setempat juga tidak menanggapi adanya permintaan bantuan.
Sementara, Iran membela tindakan untuk melindungi kedutaan Saudi, dan menyatakan tengah menyelidiki masalah ini dan melakukan penangkapan.
Ditanya apa langkah yang harus diambil Iran agar Riyadh akan mempertimbangkan pemulihan hubungan diplomatik, Jubeir mengatakan Teheran harus "menghormati norma-norma, perjanjian dan konvensi internasional" dan "bertindak seperti sebuah negara normal [yang] menghormati integritas wilayah tetangganya."
(ama)