Jakarta, CNN Indonesia -- Ketika gadis 15 tahun lain di Perancis hanyut dalam dunia maya untuk melihat jejaring sosial, Joanna sibuk menggunakan internet guna mencari cara membuat paspor palsu agar dapat terbang ke Suriah.
Dalam prosesnya, ia bahkan berhubungan langsung dengan seorang perempuan yang terlibat dalam penyerangan di Paris pada November lalu.
"Saya mencoba mendapatkan paspor untuk pergi ke Suriah. Saya punya beberapa nama dan kontak, dan perempuan ini menyapa saya di jejaring sosial. Ia ingin ke Suriah dengan seseorang. Dia tidak mau pergi sendiri. Ia juga mencoba mengontrol semua yang saya lakukan," ujar Joanna kepada
CNN dari pinggiran kota Paris.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut ibunya, sebut saja Jeanne, Joanna memang memiliki ketertarikan terhadap agama sejak masih kecil.
Layaknya kebanyakan warga Perancis, Joanna (bukan nama sebenarnya) juga tumbuh dalam ajaran Katolik. Sejak kecil, menurut ibunya, Joanna merupakan anak cerdas yang selalu ingin tahu dan cepat belajar.
"Saat masih bayi, ia sangat cepat mengucap kata, belajar warna. Dia sangat aktif dan cepat bosan. Ketika berusia enam atau tujuh tahun, ia sangat tertarik dengan agama dan ia memutuskan untuk bekerja di gereja," tutur Jeanne.
Namun saat beranjak remaja, Joanna mengatakan bahwa pemahamannya terhadap agama membawanya ke arah berbeda.
"Saya sangat tertarik dengan Kristen, tapi di beberapa titik, ke-Kristen-an tidak memberikan apa yang saya inginkan, tidak menjawab beberapa pertanyaan saya, dan saya tidak suka tradisinya, jadi saya pindah ke Islam," kata Joanna.
Perubahan itu, menurut Joanna, membuatnya menjadi pribadi yang berbeda.
"Saya memiliki banyak teman Muslim. Saya membaca Al-Quran, ketika saya membaca satu halaman, saya selalu ingin membaca bagian lain. Agama ini sepertinya sama dengan apa yang saya inginkan," ucap Joanna.
Menurut Joanna, pengalamannya dalam Islam sebagai orang yang pindah agama sangat berbeda dengan umat Muslim sejak lahir.
"Orang yang tumbuh dalam lingkungan Muslim, mereka tidak menjalaninya sebagai renjana. Namun bagi saya, ini adalah sesuatu yang saya sukai, sebuah renjana. Saya tidak bisa hidup tanpanya," tutur Joanna.
Obsesi dan semangat yang menggebu-gebu itu membuatnya menjadi target mudah untuk diradikalisasi dan direkrut kelompok militan semacam ISIS.
"Saya menerima banyak pesan dari mereka. Saya sangat sering berhubungan dengan mereka. Mereka membuat saya merasa penting, membuat saya berpikir bahwa saya memiliki peran penting di Bumi. Saya benar-benar merasa dicintai, bahkan lebih dari keluarga saya sendiri," ujar Joanna.
Semakin lama, Joanna kian terisolasi dari keluarganya yang bukan Muslim. Menurut Jeanne, para perekrut sangat cerdik memanfaatkan kesempatan ini.
"Mereka licik karena mereka tahu betul bagaimana sebuah keluarga akan bereaksi. Jika kalian bukan dari keluarga Muslim, mereka tahu bahwa orang tua kalian tidak akan menerima hijab, pengertian makanan halal, dan orang tua kalian akan melarang pergi ke masjid," papar Jeanne.
Para perekrut pun akan mengambil hati orang-orang seperti Joanna dengan mengatakan bahwa keluarga mereka tidak lagi mencintainya.
"Mereka akan berkata bahwa yang mencintai anak-anak ini hanyalah saudara-saudaranya dalam Islam. Lalu, ketika hubungan kalian dengan keluarga mengendur, kalian akan berpaling kepada mereka," kata Jeanne.
Remaja pemberontakSaat pertama kali menangkap gelagat aneh Joanna, keluarga Jeanne selalu menenangkan diri dengan berkata bahwa perubahan itu sekadar kenakalan remaja yang ingin memberontak.
Jeanne akhirnya menyadari benar-benar ada yang salah dalam diri Joanna ketika puterinya itu menyebutnya kafir. Ia pun langsung menelepon saluran bantuan nasional.
"Sangat menyedihkan. Saya merasa sangat sedih, sangat bersalah sebagai seorang ibu. Reaksi pertama kami adalah merasa bersalah. Kami mencari tahu alasan mengapa anak kami tiba-tiba berubah. Kami memikirkan cara bagaimana mencegah ini semua," kata Jeanne.
Setelah berpikir keras dan dengan segala daya upaya, Jeanne berhasil membujuk Joanna. Kini, puterinya tersebut menjadi salah satu peserta termuda dalam program deradikalisasi di Perancis.
Menurut konselor Joanna, Laura Bouzar, bukan perkara mudah untuk melakukan deradikalisasi. Kunci utamanya adalah membuat mereka ragu dengan ajaran ISIS.
"Mereka pikir mereka tahu kebenaran, fakta bahwa ISIS baik, kami jahat. Kami harus membuatnya ragu. Kami hadir untuk membuat mereka berpikir kembali, menanyakan pertanyaan sulit dan berhenti memikirkan ISIS adalah jawaban yang tepat," katanya.
Selain mengikuti sesi konseling, Joanna juga diwajibkan melapor ke polisi setiap hari. Di dalam hatinya, Joanna masih takut dapat terjerumus kembali ke dunia ekstremis.
"Saya memutuskan untuk tidak membeli ponsel baru. Tanpa ponsel dan internet, tidak akan ada yang dapat mengatur apa yang harus saya lakukan dan sekarang ini, saya tidak ingin kembali ke jejaring sosial. Saya takut suatu hari saya akan merasa kesepian dan jatuh ke dalam perangkap lagi," kata Joanna.
Jalan menuju nerakaKini, Joanna banyak belajar untuk membedakan Islam dan ISIS. Ia berharap bahwa anak lain yang memiliki ketertarikan terhadap agama tak salah mengartikan seperti ia dahulu.
Joanna pun berpesan kepada anak-anak sepertinya agar berhati-hati.
"Kalian harus selalu waspada di dunia internet. Jangan ke sana, bicara dengan mereka, dan jangan mengambil risiko. Bagi mereka yang terlanjur teradikalisasi, buka matamu terhadap realita. Jangan pergi ke Suriah. Itu sama saja bunuh diri. Kematian," tutur Joanna.
Joanna dianggap cukup beruntung karena ibunya dapat mencegahnya pergi ke Suriah. Berbeda dengan salah satu temannya, Hanane, yang sudah sempat menjejakkan kaki di tanah ISIS di Suriah.
Ketika terbang ke Suriah, Hanane dijanjikan tanah yang damai dan sangat sarat nilai Islami. Namun, yang ia temukan adalah neraka.
Ketika Hanane menolak menikah dengan seorang militan ISIS, ia langsung dipenjara, dipukuli, dan dituduh mata-mata. Semua teman perempuannya yang selama ini mengaku sebagai saudara juga ikut memojokkan Hanane.
"Saya tidak mengerti. Gadis-gadis ini mengatakan bahwa mereka menyayangi saya, saya pintar dan sangat penting bagi mereka. Kami melakukan segalanya bersama. Saya tidak pernah berbuat salah kepada mereka, tapi mereka ingin saya mati karena saya menolak dinikahkan," tutur Hanane.
Setelah dibebaskan dari penjara, Hanane diperlakukan layaknya musuh bersama. Ketika kembali ke Perancis, keadaan tak lantas membaik.
"Ketika saya kembali ke Perancis, saya dianggap sebagai gadis yang melukai orang, seperti monster yang berpura-pura menjadi korban. Saya tidak melukai siapapun di sana. Satu-satunya yang saya lukai adalah diri saya sendiri," ucap Hanane.
Kini, Hanane jugs mengikuti program deradikalisasi yang dijalankan oleh adik dari Laura Bouzar, Dounia Bouzar. Namun tetap saja, Hanane butuh perjuangan keras untuk keluar dari lingkaran perekrut ISIS.
Kendati demikian, Dounia selalu meyakinkan para orang tua bahwa akan ada jalan bagi anaknya untuk pulih.
"Saya berkata kepada mereka bahwa anaknya akan melewati semua momen sulit. 'Anak Anda juga akan menyelamatkan orang lain,'" kata Dounia.
Ia yakin, pengalaman anak-anak ini dapat membantu Perancis melawan terorisme.
"Kami adalah bagian dari rantai manusia dan kami menjadi satu gelombang untuk menghancurkan kata-kata ISIS 'Kami menang karena kami mencintai kematian ketimbang nyawa kalian.' Kami akan menang karena kehidupan lebih kuat daripada kematian," katanya.
(stu)