ANALISIS

Misr, Kelompok Radikal Baru di Mesir

Reuters | CNN Indonesia
Rabu, 17 Feb 2016 18:53 WIB
Muncul satu kelompok radikal baru di Mesir yang bertujuan mendirikan Negara Islam dengan melakukan aksi serangan di wilayah sekitar Kairo.
Misr mengukuhkan kehadiran lewat serangan besar ke konsulat Italia di Kairo. (Reuters/Mohamed Abd El Ghany)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pada 21 Januari, beberapa hari sebelum peringatan revolusi Mesir kelima, polisi Kairo menyerbu satu pemukiman kumuh di wilayah Ahram.

Sejumlah bom yang dijadikan ranjau meledak di lokasi yang lebih mirip dengan Fallujah, Irak, daripada wilayah di bagian ibu kota Mesir.

Enam polisi dan tiga warga sipil tewas, satu lantai gedung apartemen ukurang sedang pun hancur.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengeboman ini merupakan aksi paling baru dari serangkaian serangan yang diklaim oleh satu kelompok Negara Islam baru yang menyebut diri sebagai “Misr” atau Mesir dalam bahasa Arab.

Jaringan Misr merupakan kelompok militan yang sangat menakutkan. Kelompok ini tidak hanya dirancang sebagai satu “provinsi” resmi wilayah yang dikendalikan oleh satu Negara Islam atau wilaya, seperti ISIS di Sinai dan Libya.

Tetapi nama Misr dan kemampuan sel-selnya membangun kekuatan kembali setelah dihancurkan polisi memperlihatkan bahwa sempalan kelompok jihadis paling kuat di dunia itu memang akan terus mengancam stabilitas di Mesir.

Jika organisasi ini dibiarkan, tujuannya bisa tercapai.

Sementara itu, rezim pemerintahan Presiden Abdel Fattah al-Sisi tanpa jeda terus mengejar sisa-sisa kelompok Ikhwanul Muslimin yang sempat menjadi kekuatan utama di negara itu.

Akan tetapi, seperti halnya operasi polisi di Kairo, balasan atas aksi pemerintah itu bisa jauh lebih buruk dari perkiraan karena tindakan keras Presiden Sisi ini pada akhirnya membuat kelompok Islamis yang tertekan jatuh ke dalam rengkuhan ideologi salah dari “khilafah” ISIS.

Misr memperkenalkan diri dengan satu serangan bom mobil di konsulat Italia, Kairo pada Juli 2015.

Sebulan kemudian, kelompok ini menjadi sorotan publik dengan serangan bom yang sangat besar sehingga suara ledakannya terdengar ke seluruh wilayah perkotaan Kairo. Sasaran serangan itu adalah Direktorat Keamanan Provinsi Qalubiya.

Meski kelompok militan Sinai lebih sering menjadi berita utama, Misr telah melancarkan 10 serangan canggih dengan sasaran lokasi yang dijaga ketat seperti simbol pemerintahan dan juga daerah tujuan wisata.

Tujuh bulan sejak dibentuk, Misr telah mengubah serangan dari satu serangan bom yang canggih menjadi serangan-serangan kecil namun lebih sering.

Ini merupakan perubahan modus operandi yang mengkhawatirkan dan menjadi pertanda ada upaya melakukan dan mempertahankan aksi pemberontakan tingkat rendah di wilayah-wilayah pemukiman yang sebelumnya dikuasai oleh Ikhwanul Muslimin.

Serangan-serangan dan sasarannya memiliki persamaan dengan aksi yang dilakukan oleh kelompok “Komite Rakyat” yang merupakan sempalan Ikhwanul Muslimin garis keras, yang terjadi pada 2014 atau satu tahun setelah Presiden Mohammed Morsi disingkirkan.

Pihak yang meragukan potensi Negara Islam di Mesir mengatakan bahwa kenaikan Sisi menjadi presiden memperlihatkan rasa nasionalisme kuat dan dukungan besar pada militer dari masyarakat luas.

Misr memiliki hubungan fisik dengan kelompok radikal Islamis lain di Semenanjung Sinai dan Libya. (Reuters/Stringer)
Mereka menyatakan sikap itu akan mencegah Negara Islam mengakar di Mesir, tidak seperti yang telah terjadi di Semenanjung Sinai dan Libya.

Akan tetapi, lima tahun setelah aksi protes rakyat “Arab Spring” menyingkirkan Presiden Hosni Mubarak langkah Presiden Sisi ini berhasil menghancurkan kegiatan perlawanan politik. Situasi ini menciptakan kekosongan ideologi berbahaya yang kini terancam akan diisi oleh Negara Islam.

Kelompok-kelompok pemuda liberal yang tidak terorganisir yang memicu revolusi 2011 gagal menciptakan suara politik di masyarakat yang terpecah karena masalah keamanan dan stabilitas.

Sementara itu, mesin sosial dan politik Ikhwanul Muslimin yang dulu efektif kini berantakan. Para pemimpin kelompok itu disingkirkan, dipenjara atau meninggal, dan dukungan akar rumput pun retak, tidak puas dengan demokrasi dan hampir diradikalisasi.

Dengan menyebut Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris yang tidak mungkin diajak berdamai, propaganda rezim Sisi berubah menjadi rezim yang memaksakan kehendak.

Sejak 2013, ratusan bahkan ribuan anggota Ikhwanul Muslimin beralih mengggunakan kekerasan dengan berbagai cara.

Misr tumbuh sebagai kelompok militan paling aktif dan memiliki kemampuan di wilayah Kairo. Kelompok ini telah mengklaim sebagian besar serangan di periode peringatan revolusi Mesir.

Dengan menyerang polisi, kelompok ini mencoba mengalahkan kelompok Islamis antipemerintah lain dan memanfaatkan rasa tidak puas yang dipicu oleh aksi brutal polisi dan penculikan orang yang semakin sering terjadi di bawah pemerintahan Sisi.

Tidak seperti kelompok saingannya di Kairo, sel-sel Misr memiliki hubungan fisik dengan cabang-cabang ISIS di Libya yang memiliki dana besar.

Kelompok Provinsi Sinai, yang dibantu kelompok-kelompok Palestina di Gaza, terbukti bisa membuat militer Mesir gagal dan tidak bisa memasuki wilayah perbatasan Libya, Kairo dan pusat industri Mesir di Delta Nil.

Yang lebih penting lagi, Negara Islam terus meningkatkan gangguan agar upaya pemerintah Sisi menciptakan masa depan ekonomi dan politik positif bagi generasi muda Mesir gagal. Situasi ini akan membuat jumlah generasi muda yang berpotensi direkrut untuk melakukan serangan di dalam dan luar negeri akan begitu besar.

Dalam analisa yang diterbitkan 8 Februari, Kepala Intelijen Pertahanan AS Letnan Jenderal Vincent Stewart memperingatkan, ISIS akan mempeluas operasi di Mesir.

Jika dipadukan dengan insiden yang terjadi, pernyataan Stewart ini seharusnya menjadi peringatan bagi para pengambil kebijakan di seluruh dunia dan juga penguasa Mesir.

Masyarakat internasional harus berupaya keras mengatasi ISIS di Libya. Mereka juga harus menutup perdagangan senjada di Sinai yang dimotori oleh Hamas dan Iran yang membuat kelompok ISIS cabang Sinai bisa memiliki sumber keamanan yang penting.

Kebijakan keras Presiden al-Sisi terhadap Ikhwanul Muslimin semakin menyuburkan ranah rekrutmen kelompok militan. (Reuters/The Egyptian Presidency/Handout)
Rezim Sisi harus membuka perundingan dengan para pemimpin Ikhwanul Muslimin, meski sulit dilakukan karena situasi politik Mesir saat ini. Kedua kubu harus menyatakan radikalisme ISIS adalah musuh bersama.

Benar, kedua kubu akan dipaksa mengambil langkah tertentu untuk membangun rasa saling percaya agar tercipta stabilitas nasional.

Langkah-langkah itu antara lain amnesti pemerintah kepada pegiat Ikhwanul Muslimin yang dipenjara, dan para pemimpin kelompok ini harus mau memutus hubungan dengan aktor-aktor subversif regional.

Sisi harus memberi suara politik kepada sisa-sisa Ikhwanul Muslim, dan kelompok masyarakat yang diwakilinya, sebagai satu alternatif dari kekerasan.

Pemerintah Yordania, yang juga mencurigai Ikhwanul Muslimin, baru-baru ini melakukan langkah seperti itu. Negara itu menghancurkan sel Ikhwanul Muslimin yang berniat melakukan kegiatan subversif dan memberdayakan elemen-elemen moderat kelompok itu.

Untuk mengatasi ranah rekrutmen ISIS yang sangat subur, pemerintah Sisi harus bisa mengentaskan tindak korupsi di berbagai tingkat pemerintah, mereformasi pasukan keamanan dan mengatasi kemiskinan melalui investasi dan pendidikan.

Sekutu-sekutu Kairo harus memperlihatkan kepada rakyat negara itu bahwa mereka mendukung Mesir. Karena tidak mengindahkan ancaman ISIS di negara terbesar Timur Tengah ini bukan satu tindakan yang bisa diterima. (yns)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER