Sandera WNI, Abu Sayyaf Lanjutkan Tradisi Bajak Laut di Sulu

Denny Armandhanu | CNN Indonesia
Kamis, 31 Mar 2016 13:50 WIB
Laut Sulu memang terkenal dengan bajak lautnya sejak tahun 1800-an. Tradisi bangsa Sulu ini kini dilanjutkan oleh Abu Sayyaf.
Kapal pembawa batu bara yang berangkat dari Banjarmasin menuju Filipina itu dibajak pada Senin malam pekan ini di perairan Sulu. (Facebook/Peter Tonsen Barahama)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kelompok militan Abu Sayyaf membajak dan menculik 10 WNI dari perairan Filipina pekan ini. Pembajakan di wilayah ini memang telah menjadi momok sejak lama.

Menurut pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, pembajakan kapal telah dilakukan Abu Sayyaf sejak tahun 1994. Wilayah Filipina Selatan, salah satunya Sulu, yang didiami Abu Sayyaf memang memiliki tradisi lama, yaitu pembajakan kapal.
"Pembajakan di laut sudah mereka lakukan lama, sejak tahun 1994 sudah dimulai. Ini memang tradisi mereka sebagai bangsa bajak laut," kata Habib kepada CNN Indonesia.com, Kamis (31/3).

"Sulu itu suku pelaut, dan mereka memang menghidupi diri dengan membajak sejak tahun 1800-an," lanjut Habib.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kapal pembawa batu bara yang berangkat dari Banjarmasin menuju Filipina itu dibajak pada Senin (27/3) malam di perairan Sulu. Menurut laporan Filipina, dua anggota Abu Sayyaf naik ke kapal itu dan membajaknya.

Kelompok yang telah berbaiat kepada ISIS ini meminta imbalan sekitar Rp15 miliar kepada pemerintah Indonesia untuk pembebasan para WNI.

Menurut Habib, peristiwa kali ini cukup mengagetkan. Pasalnya, dalam 3-4 tahun terakhir Abu Sayyaf tidak lagi melakukan pembajakan, melainkan penculikan dan penyerangan di darat.
"Kapal itu membawa batu bara senilai Rp4 miliar, dan WNI 10 orang, jumlah tebusannya juga cukup besar," kata Habib.

Insiden di laut yang melibatkan Abu Sayyaf terakhir kali terjadi pada Desember 2011, saat warga Australia, Warren Rodwell diculik dari rumah kapalnya di Zamboanga Sibugay.

Rodwell dibebaskan pada 23 Maret 2013 dalam keadaan sangat lemah. Dia bebas setelah dibayarkan tebusan sebesar 4 juta peso atau lebih dari Rp1 miliar.

Mendompleng ISIS

Habib menjelaskan, Abu Sayyaf memiliki 300-400 personel yang terbagi menjadi 16 kelompok kecil di empat provinsi, yaitu Tawi-tawi, Jolo, Sulu dan Basilan.

Pembagian ke dalam kelompok kecil ini dimaksudkan agar Abu Sayyaf tetap berdiri walau kelompok mereka di suatu wilayah dihancurkan.

"Selama ini mereka mengandalkan penculikan untuk membeli senjata dan uang tebusan. Uang ini juga ditukar logistik, suplai amunisi, ini khas Abu Sayyaf," lanjut Habib.
Abu Sayyaf berbaiat pada ISIS pada Agustus 2014. Menurut Habib, ini adalah strategi Abu Sayyaf sebagai kelompok militan kecil untuk mendompleng organisasi teroris yang lebih besar.

"Karakternya selalu mendompleng gerakan yang lebih besar. Dulu Abu Sayyaf mendompleng al-Qaidah, berlindung di balik bendera kelompok itu. Ini strategi mereka," ujar Habib.

Ideologi Abu Sayyaf, lanjut dia, juga selalu berubah-ubah.

"Tahun 1991 ideologi mereka adalah memerdekakan Filipina selatan. Tahun 2001 mereka menganut ideologi bandit, dengan menculik dan merampok. Akibatnya terjadi perpecahan faksi," jelas dia. (ama)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER