Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, mengatakan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo membahas perkembangan upaya pemerintah terkait pembebasan warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi sandera di dua negara, yakni Filipina dan Malaysia.
Selain pembebasan, Retno mengatakan pemerintah juga mengupayakan agar hak-hak para anak buah kapal yang disandera tersebut dipenuhi oleh pemilik perusahaan kapal tempat mereka bekerja.
"Saya baru saja melaporkan kepada Presiden RI soal dua perkembangan utama terkait upaya pembebasan 10 ABK di Filipina dan 3 WNI di Malaysia," kata Retno di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (4/4).
Retno menjelaskan khusus terkait upaya pembebasan 10 WNI yang disandera oleh kelompok militan Abu Sayyaf, dirinya tidak bisa berbicara banyak kepada publik. Pasalnya, pemerintah ingin berhati-hati dalam upaya pembebasan ABK kapal Brahma 12 dan Anand 12 tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mohon maaf hasilnya tidak dapat saya sampaikan di depan publik," ujar Retno.
Namun, Retno mengatakan pada intinya pemerintah secara terus-menerus melakukan koordinasi dengan pemerintah Filipina terkait pembebasan sandera. Dia menegaskan faktor keselamatan ABK menjadi acuan utama dari semua opsi pembebasan yang dilakukan.
Sementara itu, terkait 3 ABK Indonesia yang juga disandera di Malaysia oleh kelompok yang sama, Retno mengatakan pihaknya menjamin ketiganya selamat. Informasi tersebut didapatkan setelah dirinya melakukan kontak dengan KJRI Tawau.
Penyanderaan tersebut, ujar Retno, dilakukan pada Sabtu (2/4) kemarin di dekat Sabah.
"Tiga WNI tersebut dalam kondisi selamat. KJRI Tawau sudah mendapatkan akses dan bertemu dengan ketiganya," ucap Retno.
Retno mengatakan pihak kepolisian Malaysia hingga saat ini masih terus melakukan pendalaman mengenai kasus penyanderaan tersebut. Pemerintah, ujarnya, kemudian akan memastikan kesehatan para sandera WNI dan juga hak-hak mereka, terutama terkait kewajiban dari pemilik perusahaan kapal di mana mereka bekerja.
"(Hak-hak) juga akan diberikan sesuai aturan," katanya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyampaikan pemerintah sudah menyiapkan pasukan reaksi cepat di Tarakan. Jokowi mengaku terus memantau simulasi dan latihan dari pasukan tersebut, apabila diperlukan.
Jokowi mengatakan kendala dari upaya pembebasan 10 WNI sandera ada pada persoalan perizinan, terutama karena terjadi di wilayah perairan negara lain.
"Untuk masuk ke wilayah lain memang harus dengan izin. Memang kesulitannya dilaporkan Menlu yang juga selalu saya kontak, harus ada izinnya dari parlemen (Filipina)," kata Jokowi.
Anggota kelompok Abu Sayyaf membajak dua kapal yang berbendera Indonesia dalam perjalanan dari Sungai Puting Kalimantan Selatan menuju Batangas, Filipina Selatan.
Wakil Komandan Pasukan Khusus Zambasulta, Mayor Jenderal Demy Tejares mengatakan kapal itu dibajak di perairan Sulu pada Senin (27/3) malam. Kelompok Abu Sayyaf kemudian meminta tebusan sekitar Rp 15 miliar sebagai kompensasi atas pembebasan para ABK Indonesia. Hingga kini, pemerintah masih menunggu izin dari Filipina dalam menggelar operasi penyelamatan sandera.
(stu)