Jakarta, CNN Indonesia -- Saat ISIS datang ke desa Abu Israa, Irak, dia tidak kabur.
Ibunya sudah tua dan hampir tidak bisa berjalan, jadi ketika militan ISIS meminta semua orang untuk tinggal, keluarga Israa memutuskan tetap berada di dalam rumah.
Awalnya, tentara ISIS berjanji tidak akan mengganggu warga desa. Tapi kemudian kehidupan di desa provinsi Nineveh itu jadi seperti di neraka.
Hukuman brutal mewarnai kehidupan mereka, sanksi selalu diberikan, bahkan untuk hal yang remeh. Ancaman hukuman mati selalu menyelimuti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Abu Israa--bukan nama sebenarnya--mengatakan militan ISIS menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia, dan tidak akan membiarkan mereka pergi.
Dia meminta agar identitasnya ditutupi. Karena walau kini telah berada di tempat aman, di kamp pengungsi Digba, namun kerabatnya masih berada di wilayah ISIS.
"Saya tidak ingin kehilangan lebih banyak lagi," kata dia, dalam wawancara khusus dengan CNN.
Dibawah kendali ISIS, para pria di desa itu dipaksa menumbuhkan jenggot. Abu Israa sendiri telah dua kali didenda US$40 karena panjang jenggotnya tidak sesuai dengan ketentuan.
Para wanita diminta mengenakan niqab hitam. Israa mengatakan putrinya yang berusia 12 tahun hampir dihukum cambuk karena terlihat berjalan ke kamar mandi yang terletak di luar rumahnya tanpa mengenakan jilbab.
Ancaman matiIsraa yang bekerja sebagai asisten dokter THT di Mosul terpaksa harus berhenti karena ongkos perjalanan yang mahal. Untuk menuju rumah sakit tempatnya bekerja, dia harus menempuh perjalanan 45 km per hari.
Di bawah ISIS, gajinya menjadi sangat kecil. "Itu masalahmu, seharusnya cukup untuk bekerja bagi Allah," kata Abu Israa menirukan perkataan tentara ISIS saat dia mengeluh.
"Kau tahu, mereka selalu membuat alasan agama, tapi itu bukanlah Islam," kata Israa.
Israa sempat akan berhenti, namun diancam bunuh. "Saya akan meletakkan kepalamu di gerbang rumah sakit agar semua orang bertanya mengapa orang ini dibunuh. Dan mereka akan tahu bahwa ini karena mereka menolak bekerja dengan kami, dia adalah orang kafir," kata anggota ISIS itu seperti ditirukan Israa.
Kebanyakan perkataan itu memang ancaman kosong, tapi tidak bagi orang lain. Israa mengaku melihat sendiri bagaimana ISIS mengeksekusi mati warga yang mencoba kabur atau dituduh pengkhianat.
"Hal terburuk yang saya lihat adalah eksekusi. Mereka mengumpulkan orang di jalan dan memaksa kami melihat. Mereka membantai mereka seperti domba. Siapapun yang berani menentang mereka, ini adalah takdirnya," lanjut Israa.
Di hari lain, dia mengaku menyaksikan beberapa mayat digantung di tiang listrik dekat pasar, mereka adalah orang-orang yang berusaha kabur, dibunuh untuk menjadi contoh.
Tentara anak-anakNamun yang paling mengejutkan Israa adalah ISIS menggunakan anak-anak sebagai penjaga pos pemeriksaan, titik yang rawan serangan musuh atau gempuran udara pasukan koalisi.
"Mereka meninggalkan anak-anak itu untuk jadi target serangan udara. Tapi kau tidak bisa bicara dengan mereka. Karena walau masih anak-anak, mereka bisa melaporkan kamu dan mendenda sekitar US$16 hanya karena berhenti di jalan," ujar Israa.
Israa tutup mulut dan menghindari masalah, sembari berdoa derita itu akan berakhir. Dua tahun kemudian, tentara Irak menyerbu desanya. ISIS langsung mengumpulkan para warga di tengah desa, menempatkan lima orang di setiap rumah.
Mereka harus menjauhi jendela, tidak keluar rumah, dan bertahan hidup hanya dengan teh dan roti. Saat akhir pertempuran antara ISIS dan pasukan Irak, putri Israa yang paling kecil berlari ke jendela dan membuka gorden.
"Adik saya lari untuk menariknya. Lalu dia berteriak, 'Saya tertembak, tarik saya!'" kata Israa kemudian diam, menyeka matanya yang mulai berkaca-kaca.
"Dia berkata 'Saya tidak ingin mati'," kata Isra. "Kau tidak akan mati," jawab dia.
"Saya menggendong dia ke tentara Irak dan istri saya berteriak bahwa kami warga sipil. Saya punya jenggot panjang, kami lusuh, kami seperti ISIS. Tentara berteriak 'letakkan dia di tanah.'" lanjut Israa.
Desa itu berhasil dibebaskan dari ISIS, tapi bantuan itu terlambat datang bagi Israa. Adiknya meninggal dunia di pelukannya saat itu.
(stu)