Jakarta, CNN Indonesia -- Guna membahas kerja sama keamanan di tengah meningkatnya ancaman pasca penyanderaan oleh Abu Sayyaf, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno LP Marsudi, menginisiasi pertemuan dengan mitranya dari Malaysia dan Filipina.
“Sesuai dengan instruksi dari Presiden Joko Widodo, Menlu diminta untuk duduk bersama dengan mitranya untuk membahas upaya bersama meningkatkan keamanan, khususnya di wilayah yang belakangan ini banyak terjadi pembajakan dan penyanderaan di kawasan Sulu dan Sulawesi. Menlu akan mengadakan pertemuan trilateral dengan mitranya dari Malaysia dan Filipina pada 5 Mei depan,” ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir, dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (28/4).
Arrmanatha lantas menjabarkan bahwa pertemuan trilateral yang diselenggarakan di Gedung Pancasila Kemlu ini akan dihadiri oleh menlu dan panglima militer dari masing-masing negara. Keenam orang ini akan membahas kerja sama keamanan di titik temu ketiga negara ini yang belakangan ini menjadi medan penyanderaan warga Malaysia dan Indonesia oleh kelompok militan bermarkas di selatan Filipina, Abu Sayyaf.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu agenda pembicaraan tersebut adalah kemungkinan diadakannya patroli bersama antara angkatan bersenjata ketiga negara di sekitar perairan tersebut. “Salah satu agendanya memang pembahasan kemungkinan patroli bersama di daerah tersebut. Sampai saat ini, semuanya masih dalam pembicaraan,” ucap Arrmanatha.
Pertemuan ini diharapkan akan menghasilkan satu pernyataan bersama yang intinya adalah menegaskan kembali komitmen ketiga negara untuk menjaga keamanan di kawasan yang menjadi kepentingan bersama ini serta peningkatan koordinasi guna mencapai tujuan tersebut.
“Selain
joint statement, akan ada pula MoU dari ketiga panglima yang berisi kesepakatan lebih detail oleh ketiga angkatan bersenjata untuk menjaga keamanan maritim di kawasan tersebut,” kata Arrmanatha.
Menurut Arrmanatha, keamanan di kawasan ini sangat penting. Pasalnya, perairan tersebut merupakan jalur penting perdagangan yang tentunya akan berimbas pada perekonomian ketiga negara dan kawasan.
“Yang penting adalah bagaimana bisa melakukan koordinasi di kawasan tersebut sehingga bisa mencegah hal yang tidak diinginkan karena ini merupakan jalur penting ekonomi, transportasi perdagangan. Apabila hal ini terus terjadi, akan mengganggu ekonomi. Ini merupakan kepentingan bersama untuk mengamankan jalur ini,” tutur Arrmanatha.
Kendati demikian, Arrmanatha mengatakan bahwa upaya pembebasan sandera yang disekap oleh Abu Sayyaf bukan merupakan agenda utama dalam pertemuan ini.
“Utamanya pertemuan trilateral bahas koordinasi kerja sama keamanan di kawasan tiga negara. Khusus terkait sandera tidak ada dalam agenda. Tidak menutup kemungkinan pihak Filipina akan memberikan update mengenai langkah-langkah yang akan dilakukan atau keadaan sandera-sandera yang ada di sana,” katanya.
Sementara itu, Abu Sayyaf kembali menarik perhatian setelah memenggal John Ridsdel, sandera asal Kanada yang diculik bersama tiga orang lainnya pada 2015 lalu ketika sedang berlibur di Filipina.
Abu Sayyaf saat ini juga menahan beberapa sandera asing lainnya, termasuk seorang warga negara Belanda, satu orang Jepang, empat warga Malaysia, dan 14 tawanan dari Indonesia.
Sepuluh orang WNI yang disandera merupakan awak kapal tongkang Anand 12 dan Brahma 12 yang membawa 7 ribu ton batu bara dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, menuju Filipina. Kapal itu bertolak pada 15 Maret dan kemudian dibajak Abu Sayyaf di perairan Sulu pada 27 Maret lalu.
Selain itu, empat orang lainnya juga disandera pada 15 April lalu. Mereka adalah awak kapal tunda TB Henry dan kapal tongkang Crista yang dibajak dalam perjalanan dari Cebu, Filipina, menuju Tarakan, Kalimantan Utara.
Untuk sandera asal Indonesia, pemerintah telah menegaskan tebusan merupakan urusan perusahaan pemilik kapal tempat mereka bekerja. Disebutkan, tebusan yang diminta adalah senilai 50 juta peso atau setara dengan Rp15 miliar.
(stu/stu)