Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden China, Xi Jinping, berjanji bahwa China tidak akan membiarkan kekacauan dan perang terjadi di Semenanjung Korea, sembari menekankan bahwa perang tidak akan menguntungkan pihak manapun.
Dilaporkan
Reuters pada Rabu (27/4), sejumlah tindakan provokatif Korut belakangan ini membuat China geram dan meningkatkan ketegangan di kawasan.
"Sebagai negara tetangga dekat semenanjung, kami benar-benar tidak akan mengizinkan perang atau kekacauan di semenanjung itu. Situasi ini tidak akan menguntungkan siapa pun," kata Xi di hadapan sekelompok menteri luar negeri Asia, dalam pidatonya pada Conference on Interaction and Confidence Building Measures in Asia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak awal Januari lalu, Korut melakukan serangkaian tindakan provokatif, seperti menguji coba bom nuklir, mengirim roket menggunakan rudal dan menguji coba sejumlah rudah yang diyakini dapat membawa hulu ledak nuklir.
Negara terisolasi ini juga diperkirakan akan kembali menguji coba nuklir sebelum kongres Partai Pekerja yang berkuasa pada 6 Mei digelar. Dalam kongres ini, pemimpin Korut, Kim Jong Un, diperkirakan akan memperkuat kepemimpinannya.
China merupakan sekutu tunggal Korea Utara, tetapi tidak menyetujui pembangunan senjata nuklir Korut dan mendukung sanksi PBB baru yang lebih keras dan luas terhadap Korut, yang diberlakukan sejak bulan lalu.
China juga telah lama menyerukan agar semenanjung Korea bebas dari senjata nuklir.
Korea Selatan dan Korea Utara secara secara teknis masih berperang, karena perang Korea periode 1950-1953 berakhir dengan gencatan senjata, bukan dengan perjanjian damai.
Dalam pertemuan itu, Xi juga mengatakan China akan menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan, sembari menjaga kedaulatannya dan hak di sana.
China mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan yang diyakini kaya akan minyak dan gas. Klaim yang sama juga diajukan oleh sejumlah negara tetangga, yakni Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam. Setiap tahun, aktivitas perdagangan yang melewati perairan itu bernilai sekitar US$5 triliun.
Belakangan, China juga melakukan tindakan yang dinilai provokatif oleh Barat, yakni mendirikan sejumlah bangunan dan mengirimkan rudal ke pulau yang dipersengketakan di wilayah itu. China berdalih tindakan itu bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi warga sekitar, dan bukan untuk tujuan militerisasi.
(ama/den)