Jakarta, CNN Indonesia -- Serangan udara di kamp penampungan pengungsi Suriah menewaskan 28 orang di dekat perbatasan Turki pada Kamis (5/5), sementara perang terus berkecamuk meskipun gencatan senjata sudah berlaku di Kota Aleppo.
Syrian Observatory for Human Rights menyatakan bahwa korban dari kamp penampungan warga dari Sarmada itu kebanyakan perempuan dan anak-anak, jumlahnya juga diperkirakan masih akan bertambah.
Potongan gambar di berbagai jejaring sosial menunjukkan tim penyelamat berupaya memadamkan api yang masih berkobar di sekitar jajaran tenda hangus di atas tanah berlumpur. Asap putih mengepul di udara, sementara beberapa tubuh terlihat hangus terbakar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada dua serangan udara yang menghantam kamp, sementara pengungsi yang lari dari pertempuran di selatan Aleppo dan Palmyra," ujar Abu Ibrahim al-Sarmadi, aktivis dari Kota Atmeh, kepada orang-orang di dekat kamp tersebut, dikutip
Reuters.
Seorang pekerja medis sipil yang tinggal sekitar satu kilometer dari kamp itu, Nidal Abdul Qader, mengatakan bahwa sekitar 50 tenda dan sebuah sekolah habis terbakar.
Kepala bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Stephen O'Brien, pun mengaku muak dengan apa yang terjadi di kamp itu dan mendesak diadakannya penyelidikan lebih lanjut.
"Jika serangan ini terbukti memang menargetkan struktur warga sipil, ini dapat dimasukkan dalam kategori kejahatan perang. Saya mendesak adanya penyelidikan secepatnya secara imparsial dan independen terhadap insiden mematikan ini," ujar O'Brien dalam sebuah pernyataan.
Turut angkat bicara, Gedung Putih mengatakan bahwa korban merupakan warga sipil tak bersalah yang hijrah dari rumahnya untuk menghindari kekerasan.
Sarmada terletak sekitar 30 kilometer di barat Aleppo, di mana gencatan senjata yang disepakati oleh AS dan Rusia masih berlangsung.
Namun pertempuran memang masih terus berkecamuk di daerah sekitar Aleppo dan Presiden Suriah, Bashar al-Assad, bertekad untuk meraih kemenangan mutlak dari pemberontak.
Melalui sebuah telegram kepada sekutu dekatnya, yaitu Presiden Rusia, Vladimir Putin, Assad memastikan bahwa tentaranya tidak akan tinggal diam sampai merebut kembali semua daerahnya dan meredam semua agresi pemberontak di Aleppo.
"Kami meminta Rusia untuk segera menangani pernyataan yang tidak dapat diterima ini. Ini jelas merupakan upaya Assad untuk memaksakan agendanya, tapi Rusia memiliki pengaruh terhadap rezim itu untuk tetap menjaga penghentian permusuhan," ucap juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Mark Toner.
Toner juga menyatakan kebingungannya terhadap jangka waktu gencatan senjata. Pasalnya, media pemerintah Suriah mengatakan bahwa tentara mereka akan menjaga ketenangan di Aleppo hingga 48 jam, tetapi Kemlu AS menekankan bahwa tak ada kesepakatan batasan waktu gencatan senjata.
Rusia dan AS memang bekerja sama untuk menciptakan suasana kondusif dengan menyepakati gencatan senjata demi mendukung perundingan damai antara pemerintah Suriah dan pemberontak yang dimediasi oleh PBB. Namun, Rusia dinilai masih menunjukkan keberpihakannya kepada sekutunya, rezim Assad.
Sebelumnya, Rusia memblokir upaya Inggris dalam membuat draf pernyataan resmi Dewan Keamanan PBB yang berisi kecaman terhadap kekerasan dan penyerangan warga sipil di Aleppo.
"Ada satu negara yang tidak setuju dan dia adalah Rusia. Itu menunjukkan dukungannya untuk melindungi rezim Assad," kata Duta Besar Inggris untuk PBB, Matthew Rycroft.
(hanna azarya samosir/vga)