Jakarta, CNN Indonesia -- Pemimpin kampanye Brexit, Boris Johnson, akhirnya buka suara untuk pertama kali sejak hasil referendum pekan lalu menunjukkan warga Inggris memilih hengkang dari Uni Eropa. Johnson memaparkan berbagai kemungkinan masa depan Inggris jika dia memenangkan pertarungan untuk menggantikan David Cameron sebagai Perdana Menteri Inggris.
Sejak kampanyenya berujung kemenangan pada referendum yang digelar Kamis (23/6) lalu, Johnson disebut-sebut sebagai kandidat kuat yang akan menggantikan Cameron yang lengser lantaran gagal mempertahankan Inggris dalam Uni Eropa.
Dalam tulisan kolomnya yang dimuat di media Inggris,
The Telegraph, pada Senin (27/6), Johnson yakin bahwa Inggris akan dapat memperkenalkan sistem imigrasi berdasarkan poin, atau
points-based immigration system, sementara tetap memiliki akses ke pasar tunggal Eropa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sistem imigrasi berdasarkan poin, atau PBS, merupakan sistem yang mengatur imigrasi Inggris terhadap imigran yang berasal dari luar Wilayah Ekonomi Eropa, atau EEA. Skema ini diterapkan secara bertahap antara tahun 2008-2010.
PBS terdiri dari lima poin utama sebagai persyaratan yang menggantikan berbagai dokumen izin bekerja atau visa masuk. Lima poin utama itu antara lain menyebutkan imigrasi Inggris terbuka bagi pengusaha dan investor yang berbisnis di negara itu, imigran yang memiliki keahlian di sejumlah bidang tertentu yang dibutuhkan Inggris, memiliki sponsor dan dapat berbahasa Inggris, memiliki pendapatan serta mampu menghidupi diri sendiri.
Dalam kesempatan itu, Johnson berusaha untuk meyakinkan para pendukung kampanye 'Tetap' bahwa Inggris akan terus mengintensifkan kerja sama dengan Uni Eropa. Sementara kepada para pendukungnya, Johnson menyatakan bahwa kemenangan mereka dalam referendum hanya tipis, yakni 52 persen 'Keluar' melawan 48 persen 'Tetap'.
Kemenangan itu, menurut Johnson, tidak luar biasa. Johnson juga tengah berupaya menyatukan kembali suara masyarakat Inggris yang terpecah usai referendum. Ia mengingatkan, "Ada lebih dari 16 juta warga yang menginginkan [Inggris] tetap di Uni Eropa."
"Mereka adalah tetangga kita, saudara kita yang melakukan apa yang dianggapnya benar dengan penuh tekad. Demokrasi mengizinkan mayoritas suara memutuskan sesuatu, namun semua orang memiliki posisi yang setara," kata Johnson.
Pria 52 tahun ini juga menegaskan bahwa satu-satunya perubahan yang akan terjadi adalah bahwa Inggris akan terbebas dari hukum Uni Eropa "yang aneh dan buram." Namun, pemisahan kebijakan Inggris dari Uni Eropa, lanjut Boris, "tidak akan diterapkan dengan terburu-buru."
 Sejak kampanyenya berujung kemenangan pada referendum yang digelar Kamis (23/6) lalu, Johnson disebut-sebut sebagai kandidat kuat yang akan menggantikan Cameron yang lengser lantaran gagal mempertahankan Inggris dalam Uni Eropa. (Reuters/Peter Nicholls) |
"Hal ini tidak akan mengancam, namun justru membawa peluang emas bagi negeri ini, untuk meloloskan undang-undang dan menetapkan pajak sesuai dengan kebutuhan Inggris," ujarnya.
"Ya, Pemerintah akan dapat mengambil alih kembali kendali demokratis soal kebijakan imigrasi, dengan sistem berbasis poin yang seimbang dan manusiawi untuk memenuhi kebutuhan bisnis dan industri," ucapnya.
Johnson juga menolak seruan Menteri Pertama Skotlandia Nicola Sturgeon untuk memisahkan diri dari Inggris. Johnson bersikeras dia tidak mendeteksi "kemungkinan kuat" bahwa Skotlandia akan mendesak digelarnya referendum kemerdekaan kedua.
Johnson mengklaim kini Inggris dapat memiliki hubungan yang baru dan lebih baik dengan Uni Eropa berdasarkan perdagangan bebas.
Mantan wali kota London ini juga mengisyaratkan dia akan ikut dalam pertarungan menggantikan Cameron. "Kita harus mempertahankan kebijakan satu bangsa yang merupakan salah satu peninggalan David Cameron, seperti kampanyenya terkait upah yang memenuhi biaya kebutuhan hidup," ujar Johnson.
Meski demikian, terkait hasil referendum, Johnson "menegaskan bahwa Inggris akan tetap menjadi bagian dari Eropa dan akan selamanya seperti itu. Hak warga UE yang tinggal di Inggris akan tetap terlindungi, begitu juga warga Inggris yang tinggal di negara-negara UE," ucapnya.
(ama)