Jakarta, CNN Indonesia -- Amarah Korea Utara lantaran pemimpin tertinggi mereka, Kim Jong-un, dimasukkan ke dalam daftar hitam oleh Amerika Serikat belum juga surut. Kini, mereka mengancam akan memutus jalur komunikasi, bahkan memperlakukan tahanan AS dengan hukum perang.
Selama ini, satu-satunya jalur komunikasi kedua negara ini adalah misi Korut di Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York. Melalui jalur tersebut, AS mengumumkan sanksi yang mereka jatuhkan terhadap Korut atas program nuklirnya.
Pada awal bulan ini, AS menambah sanksi tersebut dengan memasukkan 10 pejabat Korut, termasuk Kim, ke dalam daftar hitam. Menurut Kementerian Keuangan AS, sanksi ini menargetkan properti dan aset lain dari kesepuluh orang itu, yang berada dalam wilayah yurisdiksi Amerika.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Korut menganggap sanksi ini sebagai penghinaan terhadap pemimpin tertinggi mereka. Pyongyang pun menyebut keputusan ini sebagai deklarasi perang dan bersumpah akan memberikan respons keras.
Merasa permintaan pencabutan sanksi mereka diabaikan, pada Senin (11/7), Korut pun mengatakan akan mengambil tindakan korespondensi secara bertahap.
"Sebagai langkah pertama, kami sudah memberikan notifikasi ke jalur komunikasi di New York bahwa jalur penghubung satu-satunya itu akan diputus," demikian pernyataan resmi pemerintah Korut seperti dilansir
KCNA.
Jalur komunikasi ini sangat penting bagi Korut dan AS karena kedua negara tak memiliki hubungan diplomatik. Segala upaya diplomasi, termasuk pembicaraan pembebasan tahanan, dilakukan melalui jalur ini.
"Mulai saat ini, Korut akan mengatasi semua masalah yang timbul di antara kami dan AS dengan hukum perang kami, termasuk masalah tahanan AS," tulis
KCNA.
Seperti dilansir
Reuters, kini ada dua warga AS yang ditahan di Korut. Mereka adalah Otto Warmbier dan Kim Dong Chul.
Warmbier merupakan mahasiswa di Universitas Virgina yang dijatuhi hukuman 15 tahun kerja paksa karena mencoba mencuri satu barang dengan slogan propaganda.
Sementara itu, Chul yang merupakan warga Korea-AS dijerat hukuman 10 tahun penjara atas tuduhan spionase.
Sejak putusan hukum kedua warganya ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, John Kirby, terus menekankan bahwa Washington mendesak pembebasan mereka karena penahanan itu "tidak pantas dan tak berdasar."
Menanggapi pernyataan Korut kali ini, Kirby enggan langsung merujuk Pyongyang, tapi menyebut bahwa tindakan tersebut, "sangat tidak berpengaruh untuk meredakan ketegangan."
Menurut direktur advokasi dari Amnesty International AS, T. Kumar, Korut dapat menunda pembebasan para tahanan dan menjadikannya alat tawar-menawar dengan AS di tengah meningkatknya ketegangan ini.
"Ketegangan ini sedang dalam titik tertinggi saat ini dan salah satu wilayah yang dikuasai Korut adalah tahanan ini. Mereka akan menggunakan tahanan itu sebagai alat tawar-menawar demi mendapatkan keuntungan," ucap Kumar.
Ketegangan antara AS dan Korut kembali meningkat setelah Pyongyang melakukan uji coba nuklir pada Januari lalu, disusul dengan peluncuran roket menggunakan roket sebulan kemudian. Setelah itu, Korut pun terus menuai kecaman dari AS karena beberapa uji coba peluncuran rudal lanjutannya.
(stu)