Jakarta, CNN Indonesia -- Vietnam diam-diam membentengi beberapa pulau yang dipersengketakan di Laut China Selatan dengan peluncur roket yang mampu menyerang landasan pacu China dan berbagai instalasi militer di seluruh rute perdagangan penting.
Sejumlah sumber dari kalangan diplomat dan pejabat militer mengungkapkan kepada
Reuters pada Selasa (9/8), bahwa informasi intelijen menunjukkan Hanoi telah mengirimkan sejumlah peluncur roket dari daratan Vietnam ke lima pangkalan di sejumlah pulau di Kepulauan Spratly dalam beberapa bulan terakhir. Langkah ini dinilai akan meningkatkan ketegangan dengan Beijing.
Peluncur roket itu ditempatkan di tempat yang tersembunyi dari pengawasan udara dan hingga saat ini peluncur itu diyakini belum dipersenjatai. Namun, sejumlah peluncur itu dapat dioperasikan dengan artileri roket dalam waktu dua atau tiga hari, menurut keterangan dari tiga sumber Reuters.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kementerian Luar Negeri Vietnam menyatakan bahwa informasi itu "tidak akurat", namun enggan menjelaskan lebih lanjut.
Wakil Menteri Pertahanan Vietnam, Letnan Jenderal Senior Nguyen Chi Vinh, menyatakan di Singapura pada Juni lalu bahwa Hanoi tidak menyebarkan peluncur roket atau senjata lainnya yang siap untuk digunakan di Spratly, namun menegaskan pihaknya berhak untuk melakukan tindakan tersebut.
"Ini adalah dalam hak sah kami untuk membela diri dengan memindahkan salah satu senjata kami setiap saat ke daerah yang berada dalam wilayah kedaulatan kami," katanya.
Langkah ini dirancang untuk melawan berbagai upaya militerasasi yang dilakukan China di tujuh pulau reklamasi di kepulauan Spratly. Para pakar militer Vietnam mengkhawatirkan landasan pacu, radar dan instalasi lainnya yang dibangun China di sejumlah pulau sengketa akan membuat pertahanan Vietnam, khususnya di daratan dan pulau mereka di wilayah selatan, menjadi rentan.
Para pakar militer menilai menyebarkan roket merupakan langkah defensif yang paling signifikan yang dilakukan Vietnam terhadap klaimnya di Laut China Selatan dalam beberapa dekade terakhir.
Sistem artileri EXTRAPejabat asing dan pakar militer meyakini bahwa peluncur roket yang disebarkan Vietnam merupakan bagian dari sistem artileri Vietnam yang disebut EXTRA, yang baru saja diakuisisi dari Israel.
Sistem artileri EXTRA sangat akurat hingga jangkauan 150 km, dan dapat meluncurkan berbagai tipe hulu ledak seberat 150 kg yang dapat membawa bahan peledak tinggi atau berbagai jenis bom untuk menyerang beberapa target secara bersamaan. Dioperasikan dengan drone, peluncur roket ini bisa menargetkan serangan kepada kapal perang maupuan target di darat.
 Vietnam diam-diam membentengi beberapa pulau yang dipersengketakan di Laut China Selatan dengan peluncur roket yang mampu menyerang landasan pacu China di Subi Reef. (Reuters/Ritchie B. Tongo/Pool/Files) |
Dengan kemampuan seperti itu, peluncur roket ini dapat menargetkan landasan pacu sepanjang 3.000 meter dan sejumlah instalasi militer di Subi Reef, Fiery Corss dan Mischief Reef yang dibangun China.
Meski Vietnam memiliki rudal pertahanan dengan jangkauan yang lebih luas yang dibeli dari Rusia, sistem artileri EXTRA dianggap efektif dalam kondisi ini, cocok untuk disebarkan di pulau dan terumbu karang.
"Ketika Vietnam memperoleh sistem artileri EXTRA, selalu terpikir bahwa sistem itu akan dikerahkan di Spratly. Senjata ini tepat [ditempatkan di sana]," kata Siemon Wezeman, peneliti senjata senior di Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).
China pertama kali mengklaim Spratly usai pertempuran laut melawan angkatan laut Vietnam pada 1988 yang saat itu kemampuannya masih lemah. Setelah pertempuran, Vietnam mengklaim 64 tentara dengan minim perlindungan tewas ketika mencoba melindungi bendera Vietnam di South Johnson Reef.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Vietnam telah meningkatkan kemampuan angkatan lautnya, sebagai bagian dari modernisasi militer yang lebih luas, termasuk membeli enam kapal selam Kilo yang canggih dari Rusia.
Peluncuran roket dilakukan Vietnam sekitar sebulan setelah pengadilan arbitrase internasional yang berbasis di Den Haag, Belanda, memutuskan bahwa tidak satupun dari terumbu karang dan pulau buatan yang didirikan China di Kepulauan Spratly membuat China berhak mengklaim zona ekonomi eksklusif sepanjang 200 mil laut. Keputusan ini diabaikan China.
China mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan, salah satu perairan tersibuk dunia dengan nilai perdagangan yang melewatinya mencapai US$5 triliun dan diyakini kaya minyak. Namun, klaim China tumpang-tindih dengan Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan dan Vietnam.
"Militer China memberlakukan sistem pengawasan ketat untuk memantau situasi di laut dan ruang udara di sekitar pulau-pulau Spratly," bunyi pernyataan dari kementerian pertahanan China.
"Kami berharap negara yang bersangkutan dapat bergabung dengan China dalam bersama-sama menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan Laut China Selatan," bunyi pernyataan itu.
Sementara, Amerika Serikat juga memantau perkembangan sengketa di salah satu jalur perdagangan tersibuk dunia itu.
"Kami terus menyerukan kepada seluruh negara yang bersengketa di Laut China Selatan untuk menghindari tindakan yang meningkatkan ketegangan, mengambil langkah-langkah praktis untuk membangun kepercayaan, dan mengintensifkan upaya damai dan solusi diplomatik untuk menyelesaikan sengketa," kata seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS yang tak ingin disebut namanya.
(ama/stu)