New York City, CNN Indonesia --
Hillary Clinton menggunakan cara lawas untuk mengumpulkan pundi dukungan dari anggota Partai Demokrat di berbagai negara bagian. Cara ini sebelumnya diterapkan juga oleh Barack Obama, namun tak digunakan Donald Trump, yaitu dengan menelepon satu per satu para pemilih.
Aktivitas ini bisa ditemui di salah satu kantor lapangan relawan Clinton di Brooklyn, New York, yang dikunjungi oleh CNNIndonesia.com, Kamis (3/11). Di lantai 24 salah satu gedung di 335 Adam St, terdapat puluhan relawan Clinton yang rela tidak dibayar untuk berjuang memenangkan presiden impian mereka itu.
"Di akhir pekan, relawan bisa mencapai 150 orang. Di hari kerja bisa 90 orang," kata Gregg Brettschneider, salah satu koordinator relawan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Brettschneider mengatakan, dari tempat itu para relawan menelepon simpatisan Partai Demokrat dari seluruh negeri, terutama negara-negara bagian penting. Karena sejatinya, pertarungan capres AS bukan hanya ditentukan dari pemilu, tapi juga para perwakilan negara bagian dalam Electoral College yang jumlahnya tergantung perolehan suara di wilayah tersebut.
"Kami merayu mereka, menelepon ke seluruh negeri, terutama negara bagian yang menjadi 'medan pertempuran' yang penting bagi pemilu. Negara bagian itu seperti North Carolina, Florida dan Ohio," ujar Brettschneider.
Menurut pantauan CNN Indonesia, para relawan sibuk dengan laptop dan telepon di meja mereka. Laptop itu memuat nomor-nomor telepon yang harus dihubungi, jumlahnya ribuan. Setiap 52 relawan memiliki kewajiban menelepon sekitar 2.706 orang dalam jangka waktu tertentu.
Sasaran mereka adalah para simpatisan Demokrat yang sudah dipastikan memilih Clinton. Tujuannya untuk mendorong mereka keluar ke tempat pemungutan suara. Terlihat canda tawa dari relawan dengan seseorang yang asing di ujung telepon, sembari mengingatkan kembali bahwa tanggal 8 November mendatang adalah hari pencoblosan.
"Semoga kamu sehat-sehat saja," ujar seorang relawan menutup pembicaraan. Kebanyakan relawan telah berusia tua.
Laptop-laptop bertumpuk di salah satu meja, siap digunakan oleh para relawan. Telepon juga bergeletakan dan akan digunakan jika ada lagi relawan yang datang. Ruangan itu warna-warni karena dihiasi gambar-gambar dukungan bagi Clinton buatan anak-anak yang sepekan sebelumnya datang ke tempat itu.
Ruangan relawan terlihat warna-warni karena dihiasi gambar-gambar dukungan bagi Hillary Clinton. (CNN Indonesia/Denny Armandhanu) |
Relawan penelepon berusia 25 tahun, David Gore, mengatakan bahwa mereka memberikan informasi yang diperlukan oleh para pemilih untuk mencoblos Clinton. Pasalnya, banyak warga yang tidak sadar bahwa negara bagian tempat mereka tinggal melakukan pemilu dini.
"Kami tahu mereka pendukung Hillary. Kami menggerakkan mereka untuk memilih. Kami berikan informasi soal tempat pemungutan suara yang harus didatangi," kata Gore.
Pertanyaan-pertanyaan dilontarkan dengan struktur serupa oleh para relawan kepada warga melalui telepon sejak Juni lalu hingga sekarang, seperti "Apa yang kamu suka dari Hillary?" atau "Isu apa yang penting bagi kamu?"
Lalu, pertanyaan mautnya adalah "Jam berapa biasanya kamu memilih?"
Ahli perilaku manusia di fakultas kebijakan publik Harvard, Todd Rogers, dalam wawancara dengan Los Angeles Times pada Juni lalu mengatakan bahwa pertanyaan itu berhasil menekan para pemilih secara psikologis untuk tidak malas berjalan ke tempat pencoblosan. Alhasil, persentase pemilih bertambah.
"Tujuannya adalah membuat seseorang memiliki rencana. Kebanyakan orang mengatakan akan memilih, tapi hanya setengahnya yang benar-benar melakukannya," ujar Rogers.
"Bukan mereka ingin menipumu, tapi hanya karena mereka tidak punya rencana. Campur tangan psikologis ini membantu warga melewati kemalasan itu," tandas Rogers.
 Foto: CNN Indonesia/Denny Armandhanu Salah satu sudut kantor relawan Clinton. (CNN Indonesia/Denny Armandhanu) |
Cara ini sebelumnya telah juga digunakan oleh Barack Obama dan Mitt Romney pada pemilu 2012 lalu. Seperti halnya Obama, Clinton menghabiskan uang kampanyenya untuk mengumpulkan data serta menggerakkan mesin-mesin di lapangan.
Sementara itu, Trump bersikeras tidak butuh cara tradisional seperti itu untuk menggalang dukungan. Ia merasa bisa menang dengan tim yang kecil dan anggaran yang minim. Itulah sebabnya kantor lapangan Trump jumlahnya lebih sedikit dibanding Clinton.
Clinton memiliki 489 kantor lapangan di berbagai negara bagian, sementara Trump hanya 207. Isi dari kantor lapangan ini tentu saja adalah para relawan, tulang punggung kampanye Clinton.
Mereka mengatakan mantan menteri luar negeri itu adalah orang yang tepat memimpin AS, ketimbang Trump.
"Clinton telah berada di pemerintahan sejak 30 tahun. Dia telah lama bekerja untuk orang lain, sementara Donald Trump juga telah lama bekerja, namun untuk dirinya sendiri," kata Brettschneider.
Bagi para relawan, Clinton menjadi presiden adalah harga mati. "Saya tidak akan berhenti berjuang sampai dia menjadi presiden," tegas Gore.
(has)