Jakarta, CNN Indonesia -- Salah seorang penyelidik khusus PBB yang terfokus pada isu HAM bagi imigran, Francois Crépeau, mengatakan Australia bertanggung jawab atas penahanan anak-anak pencari suaka yang ditahan di pusat imigrasi lepas pantai Pulau Nauru, menyusul dugaan penyiksaan dan penelantaran yang dilakukan pemerintah Australia terhadap para pencari suaka di pulau tersebut.
Temuan penyelidik khusus PBB ini merupakan teguran terpenting yang dilayangkan pada badan sekaligus kebijakan penahanan pencari suaka Australia yang kontroversial. Teguran PBB ini muncul ditengah perdebatan global mengenai permasalahan penempatan gelombang besar pencari suaka dan pengungsi akibat merebaknya konflik yang terjadi di berbagai negara.
"Anak-anak yang tertahan di pusat penahanan imigrasi ini menunjukan tanda-tanda [gangguan stres pasca-trauma] kecemasan dan depresi. Ini tidak bisa dibiarkan," ucap Crépeau seperti dikutip
Reuters, Jumat (18/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Crépeau sebagai salah satu dari segelintir pengamat internasional yang pernah mengunjungi pusat penahan di Pulau Nauru itu menyebutkan banyak anak-anak yang menanggung beban fisik dan psikis selama berada di pusat penahanan di lepas pantai Australia tersebut.
Berdasarkan hukum di Australia, para pencari suaka yang berusaha datang ke Australia tanpa dokumen dan izin resmi akan ditempatkan sementara di kamp pemrosesan imigrasi di Pulau Nauru dan Manus di perairan Papua Nugini. Sekitar 1.200 orang ditahan di sana tanpa batas waktu yang dipastikan.
Pusat penahanan pengungsi dibangun oleh pemerintah Nauru dengan bantuan dari pemerintah dan swasta Australia. Pusat penahanan itu dibuka kembali pada 2013 seiring dengan lonjakan pencari suaka yang tiba di Australia menggunakan perahu.
Pusat penahanan Nauru sengaja dibangun untuk memproses klaim para pencari suaka guna mencegah pengungsi mencapai Negeri Kangguru.
Berdasarkan laporan terbaru kelompok pemerhati HAM, Amnesty Internasional
yang dirilis pada Oktober lalu, lebih dari 1.100 pencari suaka tertahan di pulau kecil itu yang berpenduduk sekitar 10 ribu jiwa tanpa adanya kejelasan nasib mereka.
Amnesty International mewawancarai sekitar 100 pencari suaka yang sedang dan pernah ditempatkan di Nauru. Sebagian besar mengaku pernah mengalami kekerasan seksual, penelantaran, dan penyiksaan lainnya di pusat penahanan tersebut.Menganggapi teguran PBB tersebut, Departemen Keimigrasian Australia dalam pernyataan resminya mengatakan, "tidak menerima adanya penyelidikan awal" oleh PBB terkait persoalan ini. Keimigrasian Australia juga menegaskan bahwa kebijakannya telah "memenuhi kewjiban internasional dan prinsip HAM."
Kritikan PBB terhadap kebijakan kontroversial Australia terhadap pengungsi ini datang menyusul adanya kesepakatan pemindahan sekitar 1.200 pencari suaka di Pulau Nauru ke Amerika Serikat.
Kesepakatan antara pemerintahan Barack Obama dan Turnbull akhirnya terjadi pada September lalu, setelah Australia setuju menerima pencari suaka dari Guatemala, Honduras, dan El Salvador untuk memenuhi kuota tahunan yang sebenarnya mencapai 18.750 orang.
Namun, pemerintahan AS tetap ingin menerapkan pemeriksaan kesehatan dan keamanan yang ketat sehingga proses pengiriman pencari suaka itu baru bisa dilaksanakan setelah pelantikan presiden baru pada Januari mendatang.
Kesepakatan antar AS-Australia mengenai pemindahan pengungsi ini masih memungkinkan untuk dibatalkan melihat kesepakatan tersebut memerlukan persetujuan dari presiden AS terpilih, Donald Trump.
(stu/stu)