Jakarta, CNN Indonesia -- Kemenangan Donald Trump dalam Pemilu Amerika Serikat tak membuat Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull khawatir soal kesepakatan pemindahan pengungsi kedua negara.
"Persiapan yang sudah dibuat sangat bagus dan kami percaya rencana akan terus berjalan meski pemerintahan berganti," ujar Turnbull seperti yang diwartakan oleh
Reuters, Sabtu (3/12).
Nasib 1.200 pengungsi yang mencari suaka yang berasal dari negara-negara konflik masih tak menentu. Mereka semua kini singgah di Nauru dan Pulau Manus, Papua Nugini, berharap mendapat tempat tinggal baru di Australia atau AS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menanggapi kabar itu, deputi juru bicara Gedung Putih Eric Schultz mengingatkan bahwa kesepakatan yang terjalin bisa berganti seiring peralihan kekuasaan ke presiden baru.
"Hanya ada satu presiden dalam satu waktu. Kebijakan yang berlaku akan berbeda ketika presiden terpilih Donald Trump mengambil sumpah," terang Schultz.
Naiknya Trump ke tampuk kepemimpinan AS dinilai menjadi ancaman bagi penanganan imigran di seluruh dunia. Selama masa kampanye Trump kerap mendengungkan imigran sebagai sumber masalah di negaranya dan menuduh mereka sebagai teroris.
Kesepakatan AS-Australia tercapai ketika Turnbull turut serta dalam program pemindahan imigran yang bermukim sementara di Guatemala, Honduras, dan El Salvador. Australia berencana menampung imigran itu sebagai bagian dari 18.750 izin suaka yang mereka terbitkan tiap tahun.
Kebanyakan dari pencari suaka tersebut adalah warga Muslim yang kabur dari Irak, Suriah, Afghanistan, dan Pakistan. Perang dan konflik tanpa henti memaksa mereka meninggalkan tempat tinggalnya.
Ian Rintoul dari Refugee Action Coalition sedari awal melihat kesepakatan Australia dengan AS rapuh.
"Pengumuman mereka terkesan terburu-buru karena mereka tidak menduga Trump akan menang dan jelas sekali seluruh perjanjian dapat berubah," terang Rintoul.
(ngg/vga)