ANALISIS

Peran Iran dalam Keruntuhan Aleppo dan Pengaruhnya di Kawasan

Rinaldy Sofwan | CNN Indonesia
Kamis, 15 Des 2016 17:12 WIB
Keberhasilan pasukan pro-pemerintah Bashar Al-Assad merebut Aleppo tak lepas dari peran Iran yang berupaya melebarkan kekuasaan di kawasan.
Pemerintah Suriah memukul mundur pemberontak dari Aleppo berkat peran Iran. (Reuters/Abdalrhman Ismail)
Jakarta, CNN Indonesia -- Direbutnya Aleppo oleh pemerintah Suriah jelas membuat upaya pemberontak untuk menggulingkan Presiden Bashar Al-Assad kini diujung tanduk. Namun, satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa hal ini mungkin tidak bisa tercapai tanpa bantuan Iran.

Peran Iran terlihat jelas ketika evakuasi pwarga sipil di kawasan yang dikuasai pemberontak tertunda pada Rabu (14/12), meski gencatan senjata sudah disepakati. Menurut oposisi, penundaan ini terjadi karena Teheran mengeluarkan persyaratan baru.

Iran meminta evakuasi serentak untuk para koban luka di dua kota yang dikepung oleh pemberontak, menurut berbagai sumber dari pemberontak yang didukung sejumlah sumber lain di Perserikatan Bangsa-Bangsa, dikutip dari Reuters.

Selain memainkan peran penting dalam operasi perebutan Aleppo, Iran sekaligus meluaskan pengaruhnya di kawasan dengan membantu Assad mengusir para pemberontak.

Di dalam negeri, para komandan Garda Revolusi dan pemuka agama senior di pun melayangkan pujian atas pencapaian ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perang saudara ini mempertemukan Assad yang didukung Rusia dan Iran dengan pemberontak yang didukung Amerika Serikat, kekuatan Teluk Arab dan Turki.

Iran yang sudah lebih dari lima tahun terlibat dalam konflik ini tidak hanya membentuk konflik Suriah, tapi juga memperkuat pengaruhnya di kawasan. Untuk pertama kalinya, Teheran bisa menunjukkan kekuasaan di kawasan Timur Tengah, membentang dari Irak dan Suriah ke Libanon.

Dengan demikian, keruntuhan Aleppo membuat Iran semakin dekat dengan terciptanya Sabit Syiah, yakni konsep penyebaran pengaruh regional yang membentang seperti bentuk sabit dari perbatasan Afghanistan hingga ke Laut Mediterrania.

Penyebaran pengaruh ini sudah diwanti-wanti oleh kekuatan sejumlah negara Timur Tengah yang penduduknya mayoritas Muslim Sunni, terutama Arab Saudi, selama bertahun-tahun.

"Kita semua tahu bangsa Iran sangat sabar," kata Hilal Khashan, professor ilmu politik di American University Beirut. "Mereka tidak mengharapkan imbalan cepat. Jadi mereka bersabar dan menuai hasilnya."

"Tidak dapat diragukan lagi bulan Sabit Syiah ini akan tercipta," ujarnya menambahkan. "Bangsa Iran akan mewujudkan pengaruhnya dari Irak ke Libanon."

Warga Aleppo mulai mengungsi setelah pasukan pemberontak dipukul mundur. (Reuters/Abdalrhman Ismail)Warga Aleppo mulai mengungsi setelah pasukan pemberontak dipukul mundur. (Reuters/Abdalrhman Ismail)
Hal ini bukan hanya karena kejatuhan Aleppo, tapi juga karena kemajuan yang dibuat pemerintahan Syiah di Baghdad, yang menggencarkan operasi perebutan Mosul dari cengkraman ISIS.

Ribuan milisi Syiah yang dilatih oleh Iran saat ini sedang bertempur bersama pasukan pemerintahan Irak. Sebagian dari pasukan tersebut sudah pernah bertempur di Suriah untuk mendukung Assad dan telah berjanji akan kembali jika diperlukan.

Di Irak, mereka bertempur untuk merebut Tal Afar, kota yang terletak di antara Mosul dan perbatasan barat Irak dengan Suriah. Jika kota tersebut dapat direbut kembali, Iran akan memperoleh akses militer yang tak terbendung hingga Laut Mediterania.

Sementara itu, Iran telah menebar banyak pengaruhnya di Libanon, yang mempunyai ikatan historis kuat dengan komunitas Syiah dan mendukung Hizbullah. Gerakan politik dan militer terkuat itu juga bertempur di Suriah bersama Assad.

Mewujudkan Sabit Syiah akan membuat Iran mempunyai pengaruh politik kuat di kawasan untuk menghadapi Arab Saudi dan menjamin perlindungan komunitas Syiah di kawasan Timur Tengah

Kepentingan politik, militer dan perdagangan Arab Saudi dan kekuatan Sunni lain akan terkena imbas peningkatan kekuatan Iran. Namun, kemampuan Teheran untuk mempertahankan pengaruh itu masih belum dapat dipastikan, menurut Khasan.

Komandan Iran

Menurut sejumlah analis diplomasi, sejak 2012 silam Iran mulai mempersenjatai, melatih dan membayar ribuan tentara asal Afghanistan dan Pakistan, juga milisi Hizbullah dari Libanon untuk bertempur di sisi Assad.

Diawasi oleh para komandan Garda Revolusi veteran yang pernah bertempur di perang Iran-Irak pada dekade 1980-an silam, pasukan ini mampu menggangu pergerakan banyak oposisi Suriah.

Di antara para komandan itu adalah Qassem Soleimani, kepala Pasukan Qud Garda Revolusi--pasukan yang bertanggungjawab atas operasi di luar Iran--yang berulangkali tertangkap kamera berada di garis depan Irak dan Suriah beberapa tahun belakangan ini.

Kehadiran Soleimani, juga komandan senior lainnya, sangat berbeda dengan pendekatan negara-negara seperti Saudi yang hanya mengirim uang dan peralatan militer untuk oposisi, menurut para analis.

[Gambas:Video CNN]

"Arab Saudi punya peralatan. Mereka tidak terlalu punya kemampuan. Mereka menyediakan peralatan dan uang. Itu mereka pikir sudah cukup, padahal belum," kata seorang diplomat Barat di Timur Tengah yang tidak ingin identitasnya dipublikasikan.

"Hanya itu saja yang dilakukan Iran dan tidak dilakukan oleh Saudi--mereka (Iran) langsung menginvestasikan modal di lapangan."

Pasukan pemberontak membenarkan ketika para komandan Iran hadir di medan perang, tentara Suriah mampu bekerja lebih baik.

Kebijakan ini memang memakan korban yang cukup merugikan bagi Iran. Setidaknya enam jenderal dari negara tersebut tewas di Suriah. Namun, dengan menggunakan milisi Syiah dari negara lain, Teheran setidaknya bisa menjaga agar jumlah korban dari negaranya relatif rendah.

Angka kematian perang Suriah yang diperoleh analis mengindikasikan ada ratusan warga Iran yang bertarung di sana. Namun, jumlah tepatnya masih belum bisa diketahui secara pasti.

Ancaman Eksistensial

Dengan ini, Garda Revolusi dan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei bisa menjual peperangan ini pada publik Iran.

Media garis keras yang dekat dengan Garda tersebut terus mencetak berita tentang ancaman eksistensial dari ISIS dan kepentingan di balik perang melawan kelompok militan yang mengatasnamakan Islam beraliran Sunni itu di Suriah.

Awal tahun ini, Khamenei mengatakan, jika Iran tidak terlibat di Suriah, maka bangsanya mesti rela melawan ISIS di dalam negeri sendiri. Publik pun mulai menyambut keterlibatan ini dengan baik.

Dalam sebuah pasar buku di Teheran, publik bisa berfoto dengan pakaian perang di depan latar belakang gambar kota yang hancur, seperti Aleppo.

Mereka bangga mengenakan helm dan seolah-olah siap bertarung.

"Lebih mudah bagi pemerintah untuk menjual peperangan yang tidak begitu populer atau penting jika tidak banyak darah warga Iran yang tumpah," kata sang diplomat yang mengaku tidak berwenang bicara kepada publik itu.
(aal/ama)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER