Jakarta, CNN Indonesia -- Warga Korea Utara mengakhiri kampanye mobilisasi massa yang mewajibkan para pekerja di seluruh negeri itu untuk menambah jam kerja setiap harinya, termasuk pada akhir pekan.
Mobilisasi 200 hari yang dimulai sejak Juni lalu ini memasuki hari terakhirnya pada Kamis (15/12). Pada hari terakhir ini, puluhan pasukan propaganda wanita bersenjata menggelar pertunjukan di beberapa titik strategis di Pyongyang sambil membawa sejumlah alat musik, seperti drum, serta sejumlah bendera.
Mereka memberi semangat bagi setiap pengguna kereta yang sedang dalam perjalanan menuju tempat kerjanya masing-masing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa plakat besar juga terpampang di depan para pasukan wanita tersebut bertuliskan, "Kawan, sudahkah kalian membawa rencana pertempuran untuk hari ini?"
Sejumlah plakat bertuliskan "H-1 mobilisasi 200 hari" juga terpasang di sejumlah titik dan unit kerja di seluruh Korut.
Kampanye ini wajib dilakukan oleh warga Korut sebagai pengukuran loyalitas warganya pada rezim penguasa. Setiap aktivitas warga turut diawasi secara ketat oleh pihak berwenang.
Semua ini dilakukan Korut guna mendongkrak perekonomian negara yang semakin terpuruk menyusul penerapan sanksi ekonomi terbaru yang dijatuhkan oleh PBB pada awal Desember lalu sebagai bentuk protes atas uji coba nuklir Pyongyang.
Sanksi besar yang dijatuhkan PBB diantaranya pembatasan ekspor batu bara dan logam non-besi seperti tembaga. PBB memperkirakan negara tersebut akan mengalami kerugian US$800 juta atau setara Rp10,8 triliun setiap tahun.
Resolusi ini juga akan membatasi pemasukan Korea Utara yang dapat digunakan untuk mendanai program rudal balistiknya.
Ahli menyatakan, penerapan sanksi baru yang lebih kuat pada Pyongyang jelas menambah tantangan negara itu.
Namun, kampanye mobilisasi massa seperti ini dianggap tidak cocok untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi Korut.
Sejumlah ahli juga meragukan manfaat ekonomi yang didapat dari memforsir para warga sipil untuk bekerja ekstra dalam kampanye tersebut.
Beberapa pengamat mengatakan mobilisasi massa ini justru merugikan produktivitas para pekerja di Korut yang tak sedikit mengalami kelelahan bekerja.
Human Rights Watch yang berbasis di New York bahkan mengutuk kebijakan pemerintah Korut ini dengan menganggap kampanye mobilisasi massa ini sebagai "kerja paksa" lantaran memanfaatkan desakan politik untuk memperoleh keuntungan ekonomi.
(has)