ANALISIS

Kejatuhan Aleppo: Kegagalan Obama, Kemenangan Putin

Hanna Azarya Samosir | CNN Indonesia
Jumat, 16 Des 2016 15:09 WIB
Keberhasilan militer Suriah merebut Aleppo dari pemberontak disebut-sebut sebagai kegagalan kebijakan Obama di Timur Tengah dan kemenangan Putin.
Keberhasilan militer Suriah merebut Aleppo dari pemberontak disebut-sebut sebagai kegagalan kebijakan Presiden petahana Amerika Serikat Barack Obama (kiri) di Timur Tengah dan kemenangan Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan). (Sputnik/Kremlin/Alexei Druzhinin/via Reuters)
Jakarta, CNN Indonesia -- Jatuhnya daerah kekuasaan terakhir pemberontak di Aleppo ke tangan pasukan pemerintah Suriah disebut-sebut dapat menjadi penutup yang buruk bagi pemerintahan Presiden Amerika Serikat petahana, Barack Obama.

Pemberontak yang didukung AS kalah setelah digempur habis-habisan oleh pasukan pemerintah Suriah dengan bantuan dari Rusia dan Iran, hanya berselang satu bulan sebelum Obama menyerahkan tampuk pemerintahan ke tangan Donald Trump, 20 Januari mendatang.

Kekalahan ini akan menorehkan sejarah kegagalan AS dalam mencegah kematian massal akibat perang saudara, layaknya yang terjadi ketika pemerintahan Bill Clinton menolak mengintervensi genosida di Rwanda pada 1994.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tak diragukan lagi, ia akan dicemooh sepanjang sejarah. Pertanyaannya adalah mengapa ia tak berani berbuat lebih?" ujar mantan penasihat Timur Tengah pemerintahan Amerika Serikat, Aaron David Miller, sebagaimana dikutip Reuters, awal pekan ini.

Di sisi lain, keberhasilan Presiden Bashar al-Assad merebut Aleppo, kota kedua terbesar di Suriah, dianggap akan menjadi awal yang baik bagi Trump. Ia dapat melangkah ke Gedung Putih dengan kepala menengadah karena kritiknya terhadap Obama terbukti benar.

Selama ini, Trump menilai strategi Obama di Suriah sudah lapuk dan AS seharusnya mulai menggempur kelompok militan ISIS yang kian merajalela dengan bergabung bersama koalisi Rusia. Namun, koalisi itu bercokol di Suriah untuk membantu rezim Assad.

Sejak awal, Obama enggan bersekutu dengan Assad. Ia beranggapan, Assad merupakan penyebab adanya pemberontakan di Suriah, karena menjalankan pemerintahan dengan tangan besi. Obama justru membantu para pemberontak moderat untuk melawan Assad.

Namun, berkaca pada invasi di Irak yang dianggap kegagalan besar AS, Obama tak mau terlibat langsung dalam perang di Suriah. Ia pun menjadikan Suriah sebagai tanah percobaan bagi doktrin "perang lokal" yang ia gagas.

Dalam skema tersebut, AS hanya akan membantu pembangunan kapasitas para pemberontak moderat untuk melawan pasukan rezim, namun pasukan AS tak terlibat langsung dalam perang.

[Gambas:Video CNN]

Meski demikian, Obama kerap dikritik karena tak mau memasok senjata berat bagi kelompok pemberontak untuk bertahan dari gempuran pasukan Assad yang sangat kuat karena dibantu serangan udara Rusia dan milisi Syiah dari Iran dan Libanon.

"Obama terus menerapkan kebijakan yang terlalu banyak pertimbangan. Ia hanya mempertimbangkan berbagai pilihan solusi hingga akhirnya pilihan itu sudah tak berlaku lagi,” tutur Emile Hokayem, anggota senior lembaga think-tank Institut Studi Strategis Internasional.

Kini, pemberontak di wilayah timur Aleppo sudah meletakkan senjatanya setelah berbulan-bulan berupaya keras bertahan dari gempuran pasukan rezim. Mereka dievakuasi oleh konvoi bantuan Rusia dan Palang Merah Internasional, dibawa keluar dari daerah yang awalnya sudah mereka kuasai.

"Saya rasa, sejarah akan menilai hasil yang tak diinginkan ini sebagai tantangan terbesar bagi Amerika di tahun-tahun selanjutnya," kata Ketua Komite Angkatan Bersenjata Senat AS, John McCain.

Juru bicara kepresidenan AS, Josh Earnest, berdalih bahwa Obama selama ini selalu sangat berhati-hati dengan kebijakannya di Suriah karena ia juga memprioritaskan kepentingan negara dan keselamatan warga AS ke depannya.

Namun menurut Hokayem, dengan ketidakjelasan kebijakan Obama ini, kepentingan AS justru akan lebih terancam, terutama jika Trump nantinya memutuskan untuk berkoalisi dengan Rusia, atau bahkan menarik pasukan negaranya dari Suriah seperti yang ia janjikan dalam kampanyenya selama ini.

Jika Trump benar-benar menerapkan salah satu gagasannya selama kampanye tersebut, maka akan terjadi pergeseran kekuatan besar di Suriah. Para pemberontak moderat di Suriah yang awalnya mengandalkan bantuan Obama pun tentu akan menjadi ancaman besar bagi AS.

Hal ini juga diamini oleh mantan Duta Besar AS untuk Irak dan Turki, James Jeffrey yang memprediksi bahwa pasukan Assad nantinya akan lebih kuat menggempur pemberontak. Pada akhirnya, peran AS di Timur Tengah akan tenggelam di balik bayang Iran dan Rusia.

Kejatuhan Aleppo: Kegagalan Obama, Kemenangan PutinOperasi perebutan Aleppo dimulai pada Oktober lalu dengan gempuran besar-besaran dari koalisi udara Rusia. (Reuters/Ministry of Defence of the Russian Federation/Handout via Reuters)
Pasalnya, kemenangan pasukan rezim Assad di Aleppo ini sekarang saja sudah mulai disebut-sebut sebagai kemenangan Presiden Rusia, Vladimir Putin. Dalam konflik di Aleppo ini, Putin disebut menggunakan taktik lamanya dalam pengepungan di ibu kota Chechnya, Grozny, pada 1999-2000.

Operasi perebutan Aleppo dimulai pada Oktober lalu dengan gempuran besar-besaran dari koalisi udara Rusia. Gempuran ini memberikan ruang bagi tentara Suriah untuk membangun kekuatan di darat.

Sementara itu di darat, Rusia juga disinyalir memegang peranan kuat untuk membangun pertahanan Suriah. Meskipun Moskow selama ini menampik keterlibatan langsung pasukannya di lapangan, tapi kematian komandan tank tentara Rusia di Aleppo menjadi bukti peran serta tangan kanan Putin di Suriah.

"Tanpa Rusia, tak akan terjadi apa-apa di Aleppo. Semuanya fokus di Aleppo," ucap seorang analis dari Carnegie Center di Moskow, kepada AFP, Kamis (15/12).

Ketika gempuran semakin intensif, Rusia mengerahkan sistem pertahanan udara paling mutakhir mereka ke langit Suriah. Putin juga mengirimkan kapal perang lebih banyak untuk berpatroli di sekitar pesisir Suriah.

Dalam upaya perebutan Aleppo ini, Rusia juga berkoordinasi dengan Turki, negara pendukung pemberontak namun kerap berselisih dengan AS dan Eropa. Saat Aleppo sudah berhasil direbut, Putin bahkan berkomunikasi langsung dengan Presiden Recep Tayyip Erdogan untuk berupaya menerapkan evakuasi dan gencatan senjata.

Kini, menurut Malashenko, Suriah dan Turki benar-benar bergantung pada Rusia dalam upaya penyelesaian konflik berkepanjangan tersebut.

"Kota besar ini perlu dikontrol dan diperlukan kehadiran tentara Suriah yang sangat besar dengan dukungan permanen dari Rusia," tutur Malashenko.

Seorang ahli militer independen, Alexander Golts, mengatakan bahwa semua strategi Putin ini sebenarnya mengarah ke satu tujuan, yaitu mendesak Barat untuk melonggarkan isolasi terhadap Rusia usai pencaplokan Crimea.

"Situasinya sekarang semakin jelas, Rusia benar-benar diisolasi karena kemenangan di Suriah. Tujuan utama dari operasi ini adalah mendesak Barat untuk berbicara langsung dengan Putin," kata Golts. (has/ama)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER