Jakarta, CNN Indonesia -- Utusan khusus pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi dijadwalkan akan bertandang ke Bangladesh guna membahas krisis kemanusian yang belakangan terjadi di negaranya, khususnya mengenai isu Rohingya. Konflik ini membuat setidaknya 65 ribu warga etnis minoritas Muslim di Myanmar melarikan diri ke Bangladesh.
Wakil Menteri Luar Negeri Myanmar Kyaw Tiw dikabarkan akan melakukan kunjungan selama tiga hari ke Dhaka, ibu kota Bangladesh, pada Rabu (11/1) untuk bertemu Perdana Menteri Sheikh Hasina.
Pejabat Bangladesh yang tidak ingin disebutkan namanya menuturkan, kunjungan pejabat Myanmar ini dilakukan guna mendorong negaranya "agar tidak meningkatkan tekanan terhadap Myanmar mengenai isu Rohingya dalam forum internasional."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, sejumlah komunitas internasional seperti PBB dan negara Muslim di Asia Tenggara termasuk Malaysia dan Indonesia telah memprotes serta menekan Myanmar terkait penyelesaian krisis Rohingya ini.
"Bangladesh juga telah membujuk dan menekan [Myanmar] dalam forum internasional dengan tetap menjaga hubungan kedua negara," ujar pejabat Bangladesh tersebut seperti dikutip
Reuters, Rabu (11/1).
Sementara itu, pertemuan diplomatik "langka" itu dikabarkan akan terfokus pada pembahasan hubungan bilateral antar kedua negara tetangga ini yang terkesan dingin, tanpa mengungkit masalah keamanan perbatasan yang dianggap Myanmar sebagai "masalah yang rumit."
"Untuk situasi perbatasan, operasi [militer] masih digencarkan guna menciptakan stabilitas keamanan. Jadi saya tidak yakin akan ada banyak hasil dari pertemuan pertama kali ini," tutur wakil Direktur Kemlu Myanmar Aye Aye Soe.
Kunjungan pejabat tinggi Myanmar ini dianggap menandakan pergeseran pendekatan Nampyidaw yang selama ini terlihat segan untuk bekerja sama dengan Dhaka.
Tensi hubungan kedua negara juga dianggap menegang seiring dengan gelombang pengungsi baru yang datang ke Bangladesh, menyusul memburuknya bentrokan militer Myanmar dengan kaum Rohingya.
Sejak kelompok bersenjata menyerang pos perbatasan Rakhine pada awal Oktober lalu, militer Myanmar menggencarkan operasi "pembersihan" sebagai penguatan pengamanan di wilayah itu.
Alih-alih menangkap pelaku penyerangan, Militer Myanmar diduga malah menyerang etnis minoritas Muslim Rohingya, yang selama ini menjadi target diskriminasi, secara membabi-buta.
Bentrokan tersebut setidaknya menewaskan lebih dari 80 orang dan membuat ribuan lainnya melarikan diri keluar Myanmar.
Kantor PBB untuk urusan kemanusiaan mengatakan, terhitung 5 Januari kemarin, setidaknya 65 ribu pengungsi Myanmar telah tiba di Bangladesh. Mereka bergerombol menuju negara itu sejak bentrokan dengan militer Myanmar terjadi pada 9 Oktober lalu.
Status kewarganegaraan kaum Rohingya yang tidak diakui Bangladesh dan Myanmar juga mempersulit hubungan keduanya. Sekitar 500 ribu pengungsi Rohingya di Bangladesh tidak diakui sebagai penduduk negara itu. Sementara Myanmar, tutur Soe, tidak bisa merepatriasi seluruh kaum Rohingya dari Bangladesh.
Soe mnuturkan, negaranya hanya bisa merepatriasi sekitar 2.415 orang di Bangladesh yang mengaku sebagai warga negaranya.
"Kami perlu memastikan berapa banyak [warga Myanmar] yang tiba [di Bangladesh] dan dari mana mereka berasal, tetapi tidak ada yang bisa mengkonfirmasi persis [berapa jumlahnya]," katanya.