Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA) akan menerapkan aturan baru yang lebih menghormati informasi pribadi dan hak privasi warga AS dalam segala aktivitas spionase mereka. Badan yang dibentuk untuk lebih berfokus pada target asing ini mengakui kerap menemukan data dari dalam negeri saat bertugas.
"Akan ada kontrol ketat dalam memanfaatkan data tersebut dan pegawai CIA harus bisa membatasi informasi pribadi yang dikumpulkan. Informasi yang digunakan harus memang benar-benar diperlukan dalam penyelidikan," ungkap CIA melalui pernyataan resminya seperti dikutip
AFP, Kamis (19/1).
Kebijakan ini diambil setelah aturan pembatasan yang dikeluarkan Kejaksaan Agung memaksa badan tilik sandi untuk membuang data pribadi warga Amerika yang diperoleh dalam penyelidikan dalam hitungan lima tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Digunakan atau tidak, data pribadi yang terkumpul itu harus dimusnahkan untuk memastikan lembaga intelijen tidak bisa memanfaatkan informasi tersebut dengan seenaknya.
Pasalnya, selama ini hukum spionase dan aktivitas intelijen yang ditetapkan pada masa Presiden Ronald Reagan, 1981 silam, masih sangat "longgar" dalam mengatur tanggung jawab dan prosedur badan intel terkait pemanfaatan informasi pribadi warga.
Aturan intelijen selama ini juga tidak pernah mengatur prosedur pengumpulan informasi pribadi setiap warga melalui internet dan media sosial.
Meskipun CIA hanya bisa melakukan penyelidikan terhadap sasaran asing, kecanggihan teknologi telekomunikasi dan internet tetap memudahkannya untuk mengumpulkan data pribadi elektronik warga AS sendiri.
Sebagai contoh, CIA menggambarkan, jika lembaganya membobol perangkat komputer peretas asing, badan intel itu sangat yakin mereka akan menemukan sejumlah data personal warga Amerika yang sengaja dikumpulkan
hacker tersebut.
Selama ini, banyak pihak mendesak pemerintah Barack Obama memperkat perlindungan privasi warganya.
Tekanan ini muncul usai Badan keamanan Nasional (NSA) terbukti diam-diam mengumpulkan dokumen massal warga sipil melalui perangkat komunikasi sebagai bagian dari operasi spionase elektronik mereka.
Sementara itu, pengetatan aturan spionase ini diberlakukan kejaksaan agung hanya berselang dua hari sebelum Donald Trump dilantik secara resmi menjadi presiden AS untuk empat tahun ke depan.
Sejumlah advokat pembela hak-hak privasi khawatir Gedung Putih tidak akan terlalu memperhatikan privasi warganya ketika bersangkutan dengan keamanan nasional.