Jakarta, CNN Indonesia --
Kepala agensi intelijen dalam negeri Hans-Georg Maassen mengatakan bahwa ISIS menggunakan headhunter di media sosial dan situs pesan instan untuk merekrut orang-orang muda yang tak puas dan tak senang dengan Jerman. Sebagian besar anggota yang direkrut masih berusia 13-14 tahun.
Mengutip Reuters, Maassen juga menarik hubungan paralel antara kelompok militan Islan dengan gerakan radikal masa lalu seperti kelompok komunis dan kelompok nasionalis sosialis Adolf Hitler. Kelompok ini juga mencoba menarik orang muda untuk memberontak kepada orang tua dan masyarakat.
"Di media sosialnya praktis ada headhunter yang mendekati orang muda dan membuat mereka tertarik pada ideologinya," kata Maassen kepada wartawan asing di Berlin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maassen mencontohkan adanya kasus yang terjadi pada gadis remaja Jerman-Maroko, Safia. S. Dia dituduh menikam polisi di sebuah stasiun kereta api Hanover bulan Februari lalu. Contoh lainnya adalah seorang anak Jerman-Irak berusia 12 tahun yang mencoba meledakkan dua perangkat berpeledak di barat kota Ludwigshafen pada Desember 2016.
Sekitar 20 persen dari 900 orang di Jerman yang sudah direkrut ISIS untuk bergabung dalam perang di Irak dan Suriah adalah perempuan.
Maassen mengatakan bahwa badan intelijen Eropa juga melihat adanya segmen radikalisasi masyarakat melalui media sosial. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah orang yang sebelumnya tak aktif secara politik terhadap suatu kelompok.
Orang seperti ini dianggap sudah dipengaruhi pandangannya dalam sebuah 'ruang echo' di internet.
"Kami sudah melihat ini terjadi pada ISIS, tapi sekarang kami melihat ini terjadi pada orang yang kami sebut 'warga negara yang baik.' Mereka jadi radikal dan kami khawatir bahwa radikalisasi ini bisa berubah menjadi keinginan untuk melakukan tindak kekerasan.," kata Maassen.
Pemerintah Jerman pun sedang memantau 548 orang yang dianggap berisiko membahayakan keamanan. Akan tetapi, Maassen mengatakan, hukum Jerman tak memungkinkan untuk menangkap orang sampai mereka melakukan kejahatan.
Dia mengungkapkan rasa puasnya karena polisi dan petugas keamanan sudah berkomunikasi dengan baik dalam kasus pencari suaka Tunisia Anis Amri yang menewaskan 12 orang pada 19 Desember lalu di pasar Natal Berlin.
Kasus ini memicu kritik karena pemerintah Jerman sudah mengidentifikasi pria yang pernah di penjara di Italia selama empat tahun ini sebagai orang yang berisiko membahayakan keamanan. Amri juga sudah diselidiki untuk berbagai alasan, tapi dia tak pernah dipenjarakan.
Menteri Dalam Negeri Jerman Thomas de Maiziere mengatakan bahwa semua orang yang dianggap berisiko membahayakan keamanan pasca serangan Berlin akan diselidiki.