Jakarta, CNN Indonesia -- Ketika Barack Obama menyerahkan kunci Gedung Putih kepada Donald Trump pada Jumat (20/1) waktu setempat nanti, ia bukan hanya mewariskan takhta, tapi juga segala perkara negara yang belum terselesaikan.
Problematika klasik Gedung Putih, mulai dari Obamacare hingga perundingan damai Suriah, masih akan terus menghantui.
Namun selain itu, Obama juga meninggalkan jejak perkara baru bagi Trump dengan langkah-langkah yang ia ambil selama satu bulan belakangan, sebelum ia lengser.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sanksi RusiaCNN melansir, jejak masalah pertama ditinggalkan Obama pada akhir Desember lalu, ketika ia memutuskan untuk menjatuhkan sejumlah sanksi tambahan kepada Rusia setelah intelijen melaporkan bahwa Moskow melakukan peretasan dalam pemilihan umum AS untuk mendongkrak nama Trump agar menang.
Salah satu sanksi yang menjadi sorotan luas adalah pengusiran 35 diplomat Rusia dari AS. Ketegangan pun tak terhindarkan, hingga beredar rumor bahwa Rusia akan balas dendam dengan balik mengusir diplomat AS.
Setelah 35 diplomat Rusia angkat kaki dari AS, Presiden Vladimir Putin mengumumkan, ia tidak akan membalas sanksi Obama. Trump pun memuji keputusan Putin tersebut.
 Setelah 35 diplomat Rusia angkat kaki dari AS, Presiden Vladimir Putin mengumumkan, ia tidak akan membalas sanksi Obama. (Reuters/Alexander Zemlianichenko) |
Memasuki awal tahun 2017, Trump muncul dengan satu penawaran bagi Rusia. AS akan menghentikan sejumlah sanksi jika Moskow bersedia mengurangi senjata nuklirnya.
Belum sempat disampaikan langsung kepada pemerintah Rusia, Kremlin sudah menyatakan tak akan menerima penawaran Trump tersebut.
Tak hanya ditolak Rusia, tawaran ini juga dimentahkan oleh Obama. Ia mengatakan, sanksi yang sudah dijatuhkan sebelumnya tak perlu diganggu gugat. Menurut Obama, sanksi itu seharusnya dapat menjadi tamparan kuat bagi Rusia agar tak meremehkan negara yang lebih kecil, seperti Ukraina.
Obama kemudian mengatakan, jika Trump ingin membicarakan masalah nuklir dengan Rusia, presiden terpilih itu dapat melanjutkan Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis yang sudah disepakati kedua negara pada 2010.
Namun sayangnya, Rusia sendiri sudah menutup pintu negosiasi ulang. Kini, Trump pun harus mencari kunci baru untuk membuka pintu negosiasi tersebut.
Perundingan damai Timur TengahBukan hanya pembicaraan dengan Rusia, Obama juga membukakan pintu bagi Trump untuk meneruskan perundingan damai di Timur Tengah, terutama dalam konflik Israel-Palestina yang dianggap sebagai salah satu sumbu perang di kawasan.
Pintu ini kembali terbuka ketika pemerintahan Obama memilih untuk abstain saat pemungutan suara mengenai resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengecam pembangunan permukiman oleh Israel di wilayah Palestina.
Langkah Obama ini menjadi sumbu memanasanya hubungan antara Israel dan AS yang selama ini merupakan sekutu. Sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB, AS biasanya akan memveto resolusi yang merugikan Israel.
Amarah Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, kian berkobar ketika Menteri Luar Negeri AS, John Kerry, ikut mengkritik pemerintahannya. Satu suara dengan PBB, Kerry mendesak Israel untuk segera menyelesaikan perundingan damai dengan Palestina.
 Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyebut sikap AS yang abstain dalam pemungutan suara PBB "memalukan." (Sebastian Scheiner/Pool) |
Namun, rencana Trump dalam kampanye diperkirakan justru dapat kian memanaskan perang yang berkobar di Timur Tengah. Pasalnya, ia berencana memindahkan kantor kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Yerusalem merupakan tanah yang diperebutkan oleh Israel dan Palestina sejak lama. Kedua negara mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota mereka.
Seluruh kantor kedubes negara asing pun ditempatkan di Tel Aviv sebagai upaya menampik klaim Israel.
Jika Trump benar-benar memindahkan kedubes AS, maka ia akan dicatat dalam sejarah sebagai presiden pertama di dunia yang mendukung pendudukan Israel atas Palestina.
Ketika publik menanti kejelasan dari Trump, sang presiden terpilih hanya berkata, “Lihat saja apa yang terjadi setelah 20 Januari. Saya rasa, kalian akan sangat kagum.”
Regulasi imigrasiSementara mata dunia tertuju pada Israel dan Palestina, Obama tiba-tiba mengumumkan penghentian kebijakan imigrasi yang digunakan sejak era George W. Bush untuk memantau keberadaan seluruh umat Muslim dan Arab di AS.
Program bertajuk Sistem Keamanan Nasional Registrasi Keluar-Masuk (NSEERS) ini, dianggap sebagai fondasi yang baik bagi Trump untuk menjalankan janji-janji kampanye anti-imigran.
Hanya dengan satu torehan tanda tangan di surat perintah, Trump sebagai orang nomor satu di Gedung Putih nantinya, memang dapat menitahkan pengkajian ulang untuk menerapkan kembali hukum itu. Namun, diperlukan waktu panjang hingga Kongres menyetujuinya.
Sejumlah anggota dewan mengaku sudah dapat membayangkan hari-hari yang akan mereka isi dengan perdebatan-perdebatan dengan nasib para imigran Muslim sebagai taruhannya. Mereka pun bersiap membendung segala gelombang pro kontra yang akan menyusul di belakangnya.
Penjara GuantanamoTak hanya isu imigran, jajaran pemerintahan dan anggota parlemen juga sudah mulai melihat jalan panjang perdebatan yang akan mereka tempuh untuk membicarkan nasib penjara Guantanamo.
Sejak awal menjabat, Obama selalu berjanji akan menutup penjara bagi para pelaku kriminal dan terorisme kelas kakap itu karena biaya operasionalnya yang dianggap terlalu besar.
Obama memang berhasil menguras jumlah tahanan hingga tersisa 41 orang pada awal Januari lalu. Namun hingga Obama angkat kaki dari Gedung Putih, nasib sisa tahanan itu tak kunjung jelas, menyisakan ruang bagi Trump yang sejak masa kampanye bertekad justru akan menjebloskan lebih banyak teroris ke penjara tersebut.
Pengurangan masa tahananBelum tuntas masalah tahanan di Guantanamo, Obama justru memberi pengampunan dan pengurangan masa tahanan terhadap ratusan narapidana lainnya. Selama ini, Obama dikritik karena dianggap terlalu mudah memberikan pengampunan.
Salah satu yang mendapat kelonggaran hukuman adalah Chelsesa Manning. Ia adalah orang yang membocorkan rahasia negara kepada WikiLeaks pada 2010 lalu. Dengan pengurangan masa tahanan ini, Manning akan bebas pada 17 Mei mendatang.
Gedung Putih mengumumkan pengurangan masa tahanan ini berselang sepekan setelah WikiLeaks menyatakan bahwa sang pendiri, Julian Assange, bersedia diekstradisi jika Manning dibebaskan.
 Dengan pengurangan masa tahanan ini, Manning akan bebas pada 17 Mei mendatang. (Courtesy U.S. Army/Handout via Reuters) |
Assange sendiri hingga kini masih berlindung di Kedutaan Besar Ekuador di Inggris. Warga negara Australia ini seharusnya diekstradisi ke Swedia untuk menjalani pengadilan atas tuduhan pemerkosaan pada 2010.
Ia menolak diekstradisi. Assange khawatir, jika ke Swedia, ia akan diekstradisi lagi ke AS, di mana aparat sudah membuka penyelidikan kriminal atas aktivitas WikiLeaks.
Namun dari semua masalah ini, tantangan paling besar bagi Trump di awal masa kepemimpinannya adalah menyatukan kembali negaranya yang terbelah karena pemilu lalu.
Juru bicara acara inaugurasi Trump, Boris Ephsteyn, mengatakan, isu penyatuan negara ini lah yang akan diangkat oleh sang presiden terpilih dalam pidato perdananya nanti.
“Ia akan membicarakan mengenai persatuan Amerika dan menyatukan kembali Amerika. Sekarang ini, kami sedang dalam masa pos-politik, post-kampanye, dan pesan itu yang akan disampaikan saat inaugurasi,” katanya.