Wakil presiden Minrevi, Masashi Akita, menolak kritik tersebut dan mengatakan bahwa perusahaannya hanya menawarkan “platform” untuk menghubungkan konsumen dengan para biksu.
Perusahaan ini memiliki sekitar 700 biksu di seluruh Jepang dan unit usaha ini diperkirakan akan tumbuh 20 persen pada 2017.
Akita, yang besar di pedesaan dimana masyarakat masih mengunjungi vihara secara rutin, mengatakan bisnis ini hanya menunjukkan satu era baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Saya kaget ketika pertama kali mendengar banyak warga yang tidak tahu cara menghubungi biksu,” ujarnya.
“Itu sebabnya saya ingin menjembatani hal tersebut.”
Pemerintah Jepang tidak mendapat identifikasi agama warganya, tetapi sebagian besar warganya mengikuti ritual dalam ajaran Budha dan Shinto.
Sejumlah perusahaan lain juga menawarkan layanan jasa pendeta Shinto.
Tetapi keterikatan terhadap agama di kalangan masyarakat terus turun.
Kenji Ishii, guru besar studi agama dari Universitas Kokugakuin mengatakan, 30 persen dari 75 ribu vihara di Jepang terancam tutup pada 2040 karena populasi semakin tua dan masyarakat pedesaan pun berkurang.
“Warga Jepang mempertahankan hubungan dengan vihara karena acara pemakaman dan acara-acara masyarakat, bukan karena alasan agama,” kata Ishii.
“Para pemimpin agama Budha sekarang harus memutar otak untuk mencari jalan ke arah mana agama mereka akan dibawa sementara pemasukan dana berkurang. Tetapi tampaknya mereka tidak mau melihat kenyataan itu.”
Biksu Watanabe yang mempimpin upacara di dekat kota Tokyo tidak memandang ada benturan antara bisnis dan aspek spiritual pekerjaannya.
“Saya ingin menyebarkan ajaran agama Budha,” ujarnya.
“Layanan semacam ini memberi kami kesempatan untuk berkunjung ke rumah umat. Menurut saya ajaran yang saya miliki tidak akan berarti jika kami tidak bisa menolong secara langsung.”
(yns)