Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Presiden Filipina Fidel Ramos menyatakan kekhawatirannya akan budaya impunitas yang diakibatkan perang narkotik Rodrigo Duterte. Selain itu, dia juga disebut terlalu banyak membuat kebijakan tanpa konsultasi.
Ramos, yang mendukung Duterte selama kampanye, belakangan menjadi salah satu pengkritiknya yang paling vokal. Dia mengatakan "terlalu banyak unilateralisme" dalam pemerintahan, terutama di bidang penegakan hukum dan keamanan.
Lebih dari 7.600 orang terbunuh dalam operasi narkotik tanpa ampun yang dijalankan Duterte, tujuh bulan lalu. Sebanyak 2.500 orang dari jumlah tersebut tewas dalam operasi resmi kepolisian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ramos diminta pendapatnya soal ini dalam wawancara, Minggu siang (12/2), oleh
Rappler, sebagaimana dikutip
Reuters.
Ketika ditanya apakah pertumpahan darah ini berarti budaya impunitas mulai merebak, dia menjawab "situasi kini mulai menjadi seperti itu."
Dia mengatakan dirinya belum mau menyebut budaya impunitas karena masih ada kesempatan untuk berubah. Namun, perubahan itu tergantung Duterte sendiri.
"Berdasarkan arahan dari atas, bisa jadi ada perubahan positif dalam cara bekerja negara ini," kata Ramos.
Operasi kepolisian ditunda pada akhir Januari lalu setelah seorang pengusaha Korea Selatan dibunuh oleh polisi korup. Badan Narkotik Filipina sejak saat itu mengambil alih tugas tersebut dan Duterte juga menginginkan peran serta militer.
Ramos yang menjabat sebagai presiden pada 1992-1998 tidak menyetujui hal ini karena polisi dan tentara dilatih secara berbeda.
"Pekerjaan polisi, yang sedikit berbeda dari operasi militer, di mana Anda menembak untuk melumpuhkan, bukan untuk membunuh," kata Ramos.
 Perang narkotik Duterte telah memakan ribuan korban. (REUTERS/Czar Dancel) |
Ramos adalah salah satu dari sedikit warga Filipina yang bisa mengkritik Ramos tanpa memicu kemarahannya.
Dia sebelumnya pernah mengatakan, obsesi Duterte terhadap narkotik mengalihkannya dari masalah-masalah penting. Ramos juga kaget akan sikap keras sang Presiden terhadap sekutunya, Amerika Serikat.
Selain itu, Duterte jiga disebut tidak berdiskusi dengan kabinetnya soal isu-isu seperti hubungan dengan China dan Amerika Serikat, juga upaya damai dengan pemberontak Muslim dan komunis.
"Keadaan saat ini, terjadi kelangkaan konsultasi," ujar Ramos.
"Bukan hanya dengan komandan aktifnya, bahkan mungkin bukan hanya dengan anggota kabinet terkait, tapi dengan seluruh warganya."
Juru bicara Duterte, Ernesto Abella, belum merespons ketika ditanyakan soal ini.
Dalam sebuah wawancara di radio, Abella mengatakan Duterte mendengarkan opini Ramos tapi bagaimanapun dia adalah seorang pemimpin dengan gaya berbeda.