Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Recep Tayyip Erdogan belakangan memegang peran besar di komunitas global. Namun, penentangan yang ditunjukkan duet Belanda-Jerman terhadap Ankara bisa jadi mempermalukan pemimpin Turki itu di negerinya sendiri.
Ketika ditentang oleh Jerman dan Belanda, Erdogan menuding kedua negara itu sebagai sisa-sisa Nazi. Ucapan itu tentu berdampak besar karena secara historis berhubungan langsung dengan para penentangnya.
Nazi, sebagaimana diketahui, adalah bagian dari sejarah pahit Jerman di masa Perang Dunia II, era 1940-an. Sementara, 200 ribu warga Belanda di kala itu menjadi korban kekejaman partai pimpinan Adolf Hitler tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wajah Erdogan di hadapan warga Turki saat ini sedang dipertaruhkan.
Komentar keras dilontarkan Erdogan di tengah upayanya memperoleh lebih banyak kekuasaan, menanggapi menteri-menterinya yang dilarang berbicara dalam unjuk rasa di Rotterdam. Para menteri itu berupaya meraup suara ekspatriat dalam referendum bulan depan.
Turki akan menggelar referendum itu bulan depan untuk mengubah konstitusinya. Dalam rencana amandemen terbaru, Ankara ingin presiden diberi kewenangan mengeluarkan dekrit dan mempertahankan hubungan dengan partai politik pengusungnya.
Perubahan konstitusi ini dikhawatirkan membuat pemerintahan Turki bertindak lebih otoriter dan tidak demokratis.
Semua permasalahan ini berlangsung di tengah isu imigrasi yang terus berkembang di Eropa.
Di Belanda sendiri, politikus nasionalis populis Geert Wilders yang mengedepankan wacana anti-Muslim dalam kampanyenya, berhadapan dengan Partai Kemerdekaan dan Demokrasi Mark Rutte.
Ketika menteri-menteri Turki ditolak Negeri Kincir Angin, Wilders mencoba memanfaatkan keadaan. Dia meminta Menteri Urusan Kekeluargaan Turki Fatma Betul Sayan Kaya agar tidak kembali lagi.
"Bawa semua penggemar Turki-mu dari Belanda," ujarnya melalui akun Twitter.
Dengan ketakutan akan imigran di antara masyarakat Eropa, Wilders bisa saja membawa Belanda keluar dari Uni Eropa dan menutup perbatasan, jika dia memenangkan pemilu.
Setelah Brexit, setelah Donald Trump menjabat presiden Amerika Serikat, Eropa dihadapkan pada geliat populisme dan nasionalisme seperti yang ditunjukkan Wilders.
Tak hanya itu, di Perancis pun Marine Le Pen telah bersumpah membawa negaranya keluar dari Uni Eropa, jika memenangkan pemilu bulan depan.
Di seluruh penjuru Eropa, beberapa pulan ke depan, akan lebih banyak lagi negara yang menggelar pemilihan umum. Dan saat ini, kebanyakan partai berkuasa mulai digerus oleh suara nasionalis populis.
Dua sisi permasalahan ini membuat Eropa dihadapkan pada buah simalakama.
Meski keanggotaannya masih belum diterima Uni Eropa, Ankara bagaimanapun memegang peran penting bagi benua ini. Posisi yang berbatasan langsung dengan Asia membuat Turki menjadi pintu gerbang aliran pengungsi dari Timur Tengah.
Namun, di saat yang sama, Erdogan menunjukkan sikap keras yang membuat Eropa semakin khawatir Turki akan menjadi negara yang otoriter, menyusul penangkapan puluhan ribu orang dan penutupan ratusan media, pasca-upaya kudeta gagal Juli lalu.