Jakarta, CNN Indonesia -- Belasan anggota parlemen Filipina harus rela kehilangan posisi kunci dalam Kongres setelah menolak rancangan undang-undang hukuman mati yang diusulkan pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte.
Ada 11 legislator yang dicopot dari komite majelis rendah Kongres itu, termasuk wakil ketuanya, Presiden ke-14 Filipina Gloria Arroyo.
"Masalah hukuman mati tidak semudah hal lain. Ini menyentuh pandangan mendasar setiap orang mengenai kehidupan manusia. Pemungutan suara RUU ini harus didasari hati nurani dan keyakinan pribadi," ungkap Arroyo seperti dikutip
Reuters, Kamis (16/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka dipecat menyusul ancaman Ketua Dewan Perwakilan Filipina Pantaleon Alvarez yang akan menghukum pihak-pihak penentang RUU ini.
Diberitakan
AFP, Alvarez berkeras menerapkan sanksi bagi para penentang, dengan menyebut bahwa RUU hukuman mati yang rencananya akan mulai diperkenalkan pada Mei ini merupakan bentuk ketegasan pemerintah Duterte.
"Menendang penentang dari posisi pimpinan dewan perwakilan mencerminkan intoleransi pemerintah terhadap perbedaan pendapat. Sebuah Indikator yang sangat mengganggu dari kecenderungan menuju pemerintahan yang otoriter," ungkap Partai Liberal Filipina melalui sebuah pernyataan.
Partai itu juga menganggap penangkapan Senator Leila de Lima, kritikus utama Duterte, sekitar Februari lalu, sebagai bentuk intimidasi lain pemerintah terhadap demokrasi.
Meski begitu, seorang ajudan Duterte menampik bahwa de Lima merupakan korban penganiayaan politik. Dia menuturkan, pengangkapan de Lima atas tuduhan persekongkolan pengedaran narkoba di Penjara New Bilibid adalah valid.
Hukuman mati tak lagi diterapkan Filipina sejak 2006, ketika Arroyo masih menjadi orang nomor satu di negara itu.
Sanksi ini dihentikan menyusul sejumlah kritik memperingatkan bahwa hukuman mati dan beberapa kasus pidana terhadap anak menjadi langkah mundur Filipina dalam penegakan HAM.
Walaupun begitu, Duterte berkeras hukuman mati penting dilakukan untuk memaksimalkan kampanye pemberantasan narkotiknya yang kontroversial.
Sejak mantan wali kota Davao itu duduk di kursi kepresidenan pada pertengahan 2016 lalu, setidaknya 7.000 terduga kriminal narkoba tewas.
Sebagian besar korban dikabarkan tewas tanpa melalui proses hukum yang jelas.
Kampanye brutal ini telah banyak menimbulkan tudingan dari sejumlah aktivis, bahkan dunia internasional, mengenai dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Duterte.