Anti-Hukuman Mati, Gloria Arroyo dan 10 Legislator Dicopot

CNN Indonesia
Kamis, 16 Mar 2017 15:04 WIB
Belasan anggota parlemen Filipina, termasuk Gloria Arroyo, terpaksa kehilangan jabatan setelah menolak RUU hukuman mati yang diusulkan Presiden Duterte
Belasan anggota parlemen Filipina terpaksa kehilangan jabatan penting mereka di Kongres setelah menolak RUU hukuman mati yang diusulkan Presiden Rodrigo Duterte. (Foto: REUTERS/Erik De Castro)
Jakarta, CNN Indonesia -- Belasan anggota parlemen Filipina harus rela kehilangan posisi kunci dalam Kongres setelah menolak rancangan undang-undang hukuman mati yang diusulkan pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte.

Ada 11 legislator yang dicopot dari komite majelis rendah Kongres itu, termasuk wakil ketuanya, Presiden ke-14 Filipina Gloria Arroyo.

"Masalah hukuman mati tidak semudah hal lain. Ini menyentuh pandangan mendasar setiap orang mengenai kehidupan manusia. Pemungutan suara RUU ini harus didasari hati nurani dan keyakinan pribadi," ungkap Arroyo seperti dikutip Reuters, Kamis (16/3).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mereka dipecat menyusul ancaman Ketua Dewan Perwakilan Filipina Pantaleon Alvarez yang akan menghukum pihak-pihak penentang RUU ini.

Diberitakan AFP, Alvarez berkeras menerapkan sanksi bagi para penentang, dengan menyebut bahwa RUU hukuman mati yang rencananya akan mulai diperkenalkan pada Mei ini merupakan bentuk ketegasan pemerintah Duterte.

"Menendang penentang dari posisi pimpinan dewan perwakilan mencerminkan intoleransi pemerintah terhadap perbedaan pendapat. Sebuah Indikator yang sangat mengganggu dari kecenderungan menuju pemerintahan yang otoriter," ungkap Partai Liberal Filipina melalui sebuah pernyataan.

Partai itu juga menganggap penangkapan Senator Leila de Lima, kritikus utama Duterte, sekitar Februari lalu, sebagai bentuk intimidasi lain pemerintah terhadap demokrasi.

Meski begitu, seorang ajudan Duterte menampik bahwa de Lima merupakan korban penganiayaan politik. Dia menuturkan, pengangkapan de Lima atas tuduhan persekongkolan pengedaran narkoba di Penjara New Bilibid adalah valid.

Hukuman mati tak lagi diterapkan Filipina sejak 2006, ketika Arroyo masih menjadi orang nomor satu di negara itu.

Sanksi ini dihentikan menyusul sejumlah kritik memperingatkan bahwa hukuman mati dan beberapa kasus pidana terhadap anak menjadi langkah mundur Filipina dalam penegakan HAM.

Walaupun begitu, Duterte berkeras hukuman mati penting dilakukan untuk memaksimalkan kampanye pemberantasan narkotiknya yang kontroversial.

Sejak mantan wali kota Davao itu duduk di kursi kepresidenan pada pertengahan 2016 lalu, setidaknya 7.000 terduga kriminal narkoba tewas.

Sebagian besar korban dikabarkan tewas tanpa melalui proses hukum yang jelas.

Kampanye brutal ini telah banyak menimbulkan tudingan dari sejumlah aktivis, bahkan dunia internasional, mengenai dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Duterte.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER