Jakarta, CNN Indonesia -- Rusia dan Amerika Serikat sepakat membentuk kelompok kerja untuk memulihkan hubungan kedua negara.
Keputusan ini diambil setelah Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson, bertemu dengan Presiden Vladimir Putin dan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, di Moskow, Rabu (12/4).
"Tingkat kepercayaan antara kedua negara sangat rendah. Dua negara dengan kekuatan nuklir paling kuat tidak boleh memiliki hubungan seperti ini," ujar Tillerson, sebagaimana dikutip
Reuters.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun demikian, Lavrov menunjukkan bahwa kedua negara memang masih bersilang pendapat mengenai beberapa hal, termasuk perang sipil di Suriah.
Selama ini, AS mendesak penggulingan Presiden Suriah, Bashar al-Assad, yang dianggap sebagai dalang dari semua kekacauan di negara itu. Namun, Rusia justru mendukung Assad untuk memberantas terorisme dan pemberontak di Suriah.
Dalam konferensi pers bersama ini, Lavrov mengatakan bahwa Rusia tidak menaruh harapan pada satu individu di Suriah. Namun, Rusia lebih mendorong proses politik ketimbang penggulingan satu pemerintahan.
"Kami membicarakan Assad hari ini. Tak ada satu pun contoh positif dari seorang diktator yang digulingkan dan semuanya baik-baik saja setelah itu," ucap Lavrov.
Isu dugaan penggunaan senjata oleh pasukan Assad dalam satu serangan di daerah pemberontak pada pekan lalu pun kembali mengemuka.
AS merespons dugaan tersebut dengan menyerang salah satu pangkalan udara Suriah di Homs dengan 59 rudal Tomahawk.
Dalam kesempatan ini, Lavrov pun kembali menegaskan bahwa tidak mungkin menyalahkan Assad sebelum investigasi internasional harus dilakukan untuk menentukan siapa yang seharusnya bertanggung jawab.
Akibat selisih paham ini, Rusia menangguhkan perjanjian dengan AS yang disepakati untuk menghindari bentrokan pasukan selama melancarkan serangan udara di Suriah.
Namun untuk memperbaiki hubungan, dalam pertemuan ini kedua negara sepakat untuk memberlakukan kembali perjanjian itu secepatnya.