Jakarta, CNN Indonesia -- Jagat maya gempar ketika Asma al-Assad, istri dari Presiden Suriah, Bashar al-Assad, mengunggah fotonya ketika sedang memeluk anak dan ibu korban perang di Aleppo.
Foto itu langsung menjadi buah bibir karena menurut masyarakat internasional, anak dan ibu tersebut sebenarnya merupakan korban dari kekejaman rezim suaminya sendiri.
Namun dalam keterangan fotonya, Asma justru memuja rezim suaminya yang menurutnya menorehkan sejarah dengan pertumpahan darah di Aleppo tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sepanjang hidup, kita selalu diajarkan bahwa sejarah ditulis oleh sang penguasa. Namun di Suriah, sejarah ditulis oleh orang benar, dengan darah seluruh warga Suriah. Darah ini begitu suci, dan hanya ditumpahkan untuk orang benar, oleh orang benar," tulis Asma, sebagaimana dikutip
CNN.
Nama sang Ibu Negara Suriah itu pun semakin melejit ketika ia didesak untuk melepaskan status kewarganegaraan Inggris yang tersemat padanya karena lahir di negara tersebut.
Menurut juru bicara urusan luar negeri Partai Demokrat Liberal Inggris, Tom Brake, sikap Asma sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai yang dijunjung Inggris, tempat kelahirannya.
"Pemerintah berhak mencabut kewarganegaraan seseorang jika berkaitan dengan kebaikan publik karena orang itu tak mencerminkan kepentingan Inggris," kata Brake, sebagaimana dikutip
The Independent.
Lahir di London pada 1975, Asma sebenarnya tumbuh sebagai gadis terpelajar di bawah asuhan sang ayah, seorang dokter ahli jantung kelahiran Suriah, dan ibunya yang merupakan diplomat di Kedutaan Besar Suriah di Inggris.
Sebagai anggota keluarga terpandang, Asma bersekolah di sekolah privat Queen's College dan melanjutkan studinya di King's College, hingga akhirnya bekerja di JP Morgan, Manhattan.
Asma terus menapaki jalan hidup yang gemilang hingga ia diterima di Universitas Harvard. Namun, Asma tak sempat mengecap pendidikan di universitas bergengsi tersebut karena jalan hidupnya membawanya ke Suriah.
Tepat sebelum masa studi di Harvard dimulai, Asma bertandang ke Damaskus, Suriah, untuk mengunjungi seorang bibi.
Vogue menuliskan, kala itu, Asma bertemu dengan Bashar al-Assad, putra kedua dari diktator Suriah, Hafez al-Assad.
 Tepat sebelum masa studi di Harvard dimulai, Asma bertandang ke Damaskus, Suriah, untuk mengunjungi seorang bibi. Di sana, ia bertemu dengan Bashar al-Assad. (AFP Photo/Miguel Medina) |
Tak lama setelah itu, Juni 2000, Hafez meninggal dunia dan Bashar mewarisi takhtanya sebagai Presiden Suriah. Asma pun memutuskan untuk pindah ke Damaskus pada November 2000 dan dipinang oleh Bashar satu bulan kemudian.
Dengan latar belakang pendidikan dan kemampuan bahasa memukau, Asma dianggap sebagai Ibu Negara yang elegan. Dalam tulisannya di
Vogue edisi Maret 2011, Joan Juliet Buck bahkan menyebut Asma bagai "mawar di tengah padang gurun."
Tulisan itu menuai kritikan luas. Pasalnya, saat edisi itu terbit, Bashar al-Assad baru menunjukkan kekuatan rezimnya dengan menyerang warganya sendiri yang memberontak.
Asma sendiri kerap tampil mendampingi suaminya dan mendukung setiap keputusan Assad. Melalui jejaring sosialnya, Asma bahkan kerap memuja sang suami.
Satu tahun kemudian, Buck kembali menulis mengenai Asma dalam sebuah artikel bertajuk Bapak Assad Menipu Saya yang diterbitkan di
Newsweek/
Daily Beast.
"[Asma] merupkaan perempuan berusia 35 tahun yang berpenampilan menarik, sempurna, bersahabat layaknya teman baru di pesta seorang kerabat, seperti wanita Inggris yang menikmati santap siang di meja sebelah di Harvey Nichols... Ibu negara neraka," tulisnya.