Jakarta, CNN Indonesia -- Jepang mengumumkan rancangan baru undang-undang ketenagakerjaan yang akan membatasi jam kerja lembur karyawan selama 100 jam per bulannya. Namun, aturan itu justru memicu kemarahan warga. Mereka menyebut aturan tersebut ‘keterlaluan’ dan tidak akan mengatasi karoshi, atau kematian akibat terlalu banyak bekerja.
Pemerintah Jepang menganggap serius masalah jam kerja yang berimbas pada krisis kesehatan nasional, setelah CEO perusahaan periklanan Dentsu, mengundurkan diri tahun lalu, sebagai respons atas karyawannya yang bunuh diri.
Karyawan itu disebut mengalami depresi akibat jam kerja yang terlalu panjang. Dia kerap lembur, bahkan hingga lebih dari 100 jam dalam satu bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kematian Matsuri Takahashi itu langsung menjadi perhatian nasional dan warga meminta pemerintah mencari solusi guna mengatasi jam kerja yang tidak manusiawi, dan berimbas pada kematian akibat stroke, serangan jantung juga bunuh diri.
Sebuah panel pemerintahan yang dikepalai Perdana Menteri Shinzo Abe kemudian menggagas RUU yang berisi pembatasan jam kerja lembur sebanyak 100 jam per bulan.
Namun, hal itu justru memicu kemarahan masyarakat. Mereka menyebut gagasan itu akan semakin memperparah karoshi.
Asosiasi Pengacara Buruh di Jepang mengecam usulan tersebut dan menyebut RUU itu "sangat tidak tepat”.
"Ini sama saja dengan mengesahkan batas yang bisa menyebabkan kerja hingga mati," kata Kepala Asosiasi Pengacara Buruh Ichiro Natsume, dikutip
AFP, Kamis (20/4).
Warga pun setuju atas pendapat itu.
“Kami tidak bisa menerima ini. Sangat keterlaluan,” kata Emiko Teranishi, ketua komunitas keluarga korban karoshi.
“Saya pikir pemerintah bisa menemukan solusi untuk mengatasi masalah ini, tapi ini malah jadi langkah mundur bukan maju.”
Teranishi sendiri kehilangan suaminya akhibat karoshi. Sang suami, pengusaha restoran mi di Kyoto, bunuh diri di pertengahan 90an karena depresi yang disebabkan jam kerja yang terlalu panjang.
“Suami saya bekerja hingga 4000 jam dalam setahun, tanpa libur di akhir pekan. Dia hanya libur dua hari sebulan,” kata Teranishi.
“Dia depresi. Tidak bisa makan atau tidur.”
Selama ini, Jepang dikenal sebagai negara pekerja keras. Lembur menjadi simbol dedikasi di banyak perusahaan di Jepang, bahkan rata-rata karyawan bekerja lebih dari 40 jam seminggu, atau lebih dari 9 jam per hari.
Survei pemerintah yang dilakukan Oktober lalu menyebut satu dari lima perusahaan di Jepang, punya daftar karyawan yang cenderung memilih bekerja lembur ketimbang dianggap tidak produktif.
Adapun RUU baru soal jam kerja itu akan membatasi jumlah jam lembur bagi karyawan dengan penalti bagi perusahaan yang melanggar.
Sebelumnya, usulan soal batas jam lembur ditetapkan sebanyak 45 jam sebulan, namun batas tersebut diperlebar hingga 100 jam.