Jakarta, CNN Indonesia -- Kelompok Islamis Palestina, Hamas, tak lagi menyerukan penghancuran Israel, meski masih menolak hak keberadaan negara tersebut dan mendukung "perjuangan bersenjata" untuk menentangnya.
Dalam dokumen kebijakan yang dipresentasikan di Doha oleh pemimpin organisasi tersebut, Khaled Meshaal, Hamas juga menyatakan akan mengakhiri asosiasi dengan Ikhwanul Muslimin. Langkah ini tampaknya diambil untuk memperkuat hubungan dengan negara Teluk Arab dan Mesir yang memandang kelompok tersebut sebagai teroris.
Israel merespons Hamas berupaya "membodohi dunia" dengan menyatakan pengumuman tersebut. Sementara rival utama kelompok tersebut di Palestina, faksi Fatah yang dipimpin Presiden Mahmoud Abbas, merespons dingin.
Publikasi dokumen kebijakan itu dilakukan dua hari sebelum Abbas mengunjungi Washington, dan beberapa hari setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan dirinya mungkin akan bertandang ke Israel bulan ini. Trump mengatakan tidak ada alasan bagi kedua negara untuk tidak berdamai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami tidak ingin mencairkan prinsip kami tapi kami ingin terbuka. Kami harap (dokumen) ini akan memberi perubahan bagi pandangan negara-negara Eropa terhadap kami," kata Meshaal kepada wartawan, diberitakan
Reuters, Selasa (2/5).
Hamas, yang menguasai Jalur Gaza sejak 2007, dalam dokumen itu menyatakan sepakat dengan pembentukan negara transisi Palestina sesuai dengan perbatasan yang ditetapkan pada 1967, ketika Israel merebut Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur dalam peperangan melawan negara-negara Arab. Israel menarik diri dari Gaza pada 2005.
"Hamas mengadvokasi pembebasan semua warga Palestina namun siap untuk mendukung pembentukan negara sesuai perbatasan 1967 tanpa mengakui Israel atau hak apapun," kata Meshaal, dalam pergeseran yang membuat Hamas lebih sejalur dengan Fatah.
Didirikan pada 1987 sebagai cabang dari Ikhwanul Muslimin, gerakan Islamis Mesir yang dilarang, Hamas bertempur dalam tiga perang dengan Israel sejak 2007 dan melakukan ratusan serangan bersenjata di Israel serta wilayah-wilayah yang diduduki negara tersebut.
Kebanyakan negara-negara Barat mengklasifikasikan Hamas sebagai kelompok teroris karena tidak bisa mencegah kekerasan, mengakui hak keberadaan Israel dan menerima kesepakatan damai sementara antara negara itu dan Palestina.
Meshaal menyatakan pertarungan Hamas bukan untuk memerangi Yahudi tapi untuk melawan "agresor Zionis."
Juru bicara Fatah, Osama al-Qawasme, mencela Hamas karena menghabiskan waktu berdekade untuk bergabung dengan mereka menerima pembentukan negara Palestina di bawah kesepakatan perbatasan 1967. Sebelumnya, Hamas kerap mengkritisi Fatah karena kebijakan itu.
"Dokumen baru Hamas identik dengan piagam Fatah 1988 lalu. Hamas mesti meminta maaf pada Fatah setelah 30 tahun menuding kami berkhianat dengan mengambil kebijakan itu," kata Qawasme.
Masih belum jelas apakah dokumen itu menggantikan piagam 1988 yang menyerukan penghancuran Israel. Meshaal mengatakan dokumen itu akan "memandu kegiatan politik harian Hamas."
Otoritas Palestina di bawah Abbas telah melakukan pembicaraan damai dengan Israel dengan dasar pembentukan negara di bawah perbatasan 1967, meski upaya terakhir yang dimediasi AS pada 1967 berakhir gagal.
Sejauh ini belum ada komentar dari Mesir dan negara-negara Teluk Arab terkait dokumen tersebut.