Jakarta, CNN Indonesia -- Bahkan sebelum serangan teror terakhir mengguncang Perancis, pertarungan menuju kursi pemimpin negara ini sudah menarik perhatian dunia yang termakan ide bahwa gangguan keamanan semacam itu identik dengan radikalisme Islam.
Alasannya adalah kehadiran pemimpin Partai Front Nasional, Marine Le Pen, di antara para pesaing. Ia adalah seorang nasionalis yang mengambil pendekatan keras terhadap imigrasi dan "terorisme Islamis."
Saat serangan teror yang menewaskan seorang anggota polisi terjadi bulan lalu, Le Pen langsung menyerukan penutupan semua masjid "Islamis" di Perancis dan pengusiran segera untuk orang-orang yang berada dalam daftar pengawasan terkait terorisme.
Berbeda dengan Le Pen, pesaingnya yang berhaluan politik tengah mengambil sikap lebih diplomatis. "Jangan menyerah pada ketakutan, jangan menyerah pada perpecahan, jangan menyerah pada intimidasi," kata Emmanuel Macron.
Le Pen memosisikan dirinya sebagai seorang nasionalis yang meyakini imigrasi telah merusak nilai Perancis dan mesti dibatasi dengan serius. Dia ingin memangkas imigrasi ke angka 10.000 penerimaan per tahun.
Dia mengecam globalisasi dan bersumpah memerangi "Islam radikal". Jika menang, Le Pen akan jadi presiden ekstrem-kanan pertama dalam sejarah Uni Eropa.
Pengaruh terbesar mungkin akan dirasakan oleh negara-negara Timur Tengah atau Afrika jika Le Pen menjadi presiden. Mereka yang memandang Perancis sebagai tempat aman bisa jadi kehilangan kesempatan untuk berlindung.
Imigrasi menjadi isu besar dalam pemilu kali ini dan Le Pen bahkan ingin melarang imigrasi legal untuk sementara waktu.
Pemilu ini adalah cobaan terakhir dari gerakan populisme yang membawa Inggris memisahkan diri dari Uni Eropa dan memuluskan jalan Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat.
Selain itu, kedua kandidat juga mempunyai pandangan ekonomi yang jauh berseberangan. Le Pen bersumpah akan membawa Perancis meninggalkan Eropa, mengikuti jejak Inggris, dan melepaskan mata uang euro.
Jika ia memenangi pemilu dan mewujudkan janjinya, berarti Eropa ditinggalkan oleh dua negara terkaya di benua, sebuah ancaman bagi perekonomian blok 28 negara itu.
Sementara itu, Macron ingin lebih dekat dengan Uni Eropa dan ingin membawa Perancis bekerja sama lebih erat dengan payung negara-negara benua biru itu.
Ia mendukung langkah-langkah liberal yang bersahabat dengan pengusaha untuk menggenjot perekonomian. Selain itu, kandidat yang sebelumnya tak diperhitungkan ini, ingin meningkatkan anggaran pertahanan dan kepolisian.
 Perancis dihantui teror sejak 2015. (REUTERS/Christian Hartmann) |
Macron juga menyerukan persatuan bagi Perancis, sementara Le Pen berulang kali dia tuding mengakibatkan perpecahan dengan retorika anti-Islam di negara yang sedang terbelah.
Pasar pasti akan bereaksi buruk ketika terjadi instabilitas di negara dengan ekonomi terbesar kedua setelah Inggris. Di saat yang sama, Perancis sedang dilanda masalah perekonomian: tingkat pengangguran mencapai angka 10 persen dan perkembangan pemasukan negara yang lemah.
Macron, seorang mantan bankir yang pernah menjabat sebagai menteri ekonomi, menilai Perancis bisa lebih kompetitif jika menerima globalisasi dan mengedepankan perdagangan bebas.
Sementara sikap Le Pen mencerminkan perubahan radikal dari status quo di Perancis lewat keyakinannya terhadap nasionalisme ekonomi, yang bisa berarti pembatasan perdagangan.
Hasil pemilu putaran pertama dan sejumlah hasil survei menunjukkan Macron lebih berpeluang untuk menang mutlak dalam persaingan ini.
Macron adalah politikus independen yang membentuk gerakan En Marche! sebagai mesin kampanyenya menuju kursi presiden. Calon presiden termuda ini mengaku tidak berhaluan politik kiri maupun kanan dan berhasil menyingkirkan para kandidat partai utama dari kedua kutub pada putaran kedua.
Pemilu putaran pertama diikuti oleh 11 kandidat, dan dua orang yang tersisa dan berhak maju ke putaran kedua--Le Pen dan Macron--sama-sama tidak berasal dari partai utama Perancis.
Siapapun yang memenangi pertarungan ini, Perancis akan dihadapkan pada gaya pemerintahan baru yang bisa memberikan pengaruh besar bagi Eropa dan dunia.
Selanjutnya, yang harus diperhatikan di tengah terjangan populisme ini adalah pemilu Jerman, September yang akan datang. Kanselir Angela Merkel, meski dinilai sebagai salah satu perempuan paling berpengaruh di dunia, menghadapi ancaman kekalahan karena kebijakannya membuka pintu bagi pengungsi.
Pemimpin Jerman yang sudah menjabat selama 11 tahun itu pun mengakui bahwa kebijakan tersebut membawa dampak buruk bagi partainya. Negara yang dianggap Le Pen sebagai ancaman perekonomian Perancis itu akan menunjukkan sejauh apa langkah yang sudah ditempuh para populis di Eropa dan dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT