Jakarta, CNN Indonesia -- Hari ini, Minggu (7/5) Perancis akan menorehkan sejarah baru lewat pemungutan suara. Itu akan menentukan masa depan Perancis, di bawah arahan pemimpin liberal pro-Uni Eropa yang punya karir politik singkat atau pemimpin ekstrem kanan yang akan membawa Perancis keluar dari Uni Eropa.
Usai Brexit di Inggris dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, kini giliran Perancis yang akan membawa perubahan politik signifikan bagi dunia.
Partai Sosialis dan sayap kanan telah memerintah Perancis sejak era 50-an, namun tatanan konvensional itu kini bergeser.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hilangnya popularitas Partai Sosialis dan pecahnya suara Republik akibat perselisihan dan penyidikan pengadilan karena kasus penipuan, membuka celah bagi kandidat muda yang belum pernah masuk dalam percaturan politik.
Siapapun yang terpilih, baik itu penganut haluan tengah Emmanuel Macron atau kandidat populis Marine Le Pen, Perancis kini berada di tepi perubahan.
Le Pen, sudah menguasai delapan kota dan punya dukungan dari 20 anggota Senat, namun dia mendapat banyak kecaman dari politisi mayoritas. Melansir
AFP, alasannya karena visinya yang dianggap berisiko bagi Perancis, terutama soal pandangannya tentang kelompok militan Islam dan imigran.
Sementara, Macron yang merupakan kandidat independen yang berkampanye lewat gerakan En Marche! adalah kuda hitam. Tidak diperhitungkan namun sukses mendulang banyak suara. Selain karirnya sebagai bankir dan masuk kabinet Presiden Francois Hollande sebagai Menteri Ekonomi, nama Macron belum terdengar di liga politik Perancis.
Oleh karena itu, di Pemilu 2017 ini, warga Perancis akan menentukan masa depan baru sekaligus menggariskan posisi negaranya di jantung Uni Eropa.
Jika Macron yang terpilih, maka Perancis akan mengarah pada reformasi Uni Eropa serta integrasi Eropa yang lebih dalam, berupa anggaran dan menteri keuangan zona euro.
Namun, andaikan Le Pen yang maju sebagai Presiden, maka Perancis akan melakukan referendum untuk hengkang dari Uni Eropa.
“Saya memberi waktu enam bulan pada diri sendiri untuk bernegosiasi dengan Uni Eropa guna mengembalikan kedaulatan Perancis. Biarkan orang Perancis yang memutuskan,” cuit Le Pen di
Twitter.Mengacu pada polling yang digelar Maret lalu, tujuh dari sepuluh warga Perancis menolak meninggalkan Uni Eropa. Itu berarti dukungan bagi Macron.
Di sisi lain, warga yang tidak puas terhadap pemerintahan Hollande mengganggap gagasan Le Pen soal ‘France First’ menarik. Kandidat dari Partai Front Nasional itu mengusung konsep ‘ekonomi nasional’ di mana warga Perancis akan menjadi fokus utama dalam hal perumahan, kesehatan, pendidikan dan pekerjaan.
Bagi Perancis yang memiliki angka pengangguran tinggi selama beberapa tahun terakhir atau di atas 10 persen, janji Le Pen terdengar manis. Pasalnya, kini satu diantara empat penduduk Perancis berstatus pengangguran.
Selain itu, ekonomi Perancis juga berjalan bagai siput sejak krisis ekonomi 2008, yang menjadi fokus perhatian kedua kandidat.
Le Pen ingin memangkas usia pensiun menjadi 60 tahun dan mengubah sektor swasta menjadi badan usaha milik negara, karena terlalu banyak dikuasai asing.
 Marine Le Pen mengusung gagasan 'France First' dan berniat membawa Perancis melepaskan diri dari Uni Eropa. (REUTERS/Patrick Kovarik) |
Sementara Macron ingin mengurangi 120 ribu pekerjaan di sektor publik, menyunat pengeluaran publik sebesar 60 miliar euro, membajak miliaran dolar menjadi investasi dan mengurangi tingkat pengangguran hingga di bawah tujuh persen.
Di samping ekonomi, masalah keamanan dan perbatasan pun jadi arena pertarungan kedua kandidat. Mantan Ketua Partai Front National (FN) itu ingin menangguhkan persetujuan terbuka Uni Eropa mengenai perbatasan Perancis dan mengusir orang asing yang berada dalam daftar pengawasan dinas intelijen.
Dia juga menginginkan pengusiran imigran ilegal secara otomatis dan moratorium seluruh imigran resmi sebelum memotong jumlahnya menjadi 10 ribu orang per tahun.
Di sisi lain, isu kontroversi anti-Yahudi yang lekat dengan partai pengusung Le Pen juga bisa mengurangi jumlah pemilih di pemilu nanti. Alasannya, di pemilu sebelumnya, pemilih dari sayap kiri dan sayap kanan akan kompak membentuk ‘garda nasional’ guna menjatuhkan kandidat FN agar terjungkal di pemilu putaran pertama.
Namun, formula itu terbukti tidak berhasil pada pemilu kali ini.
Beberapa pengamat politik, dilansir
the Guardian, menyebut pemilih kini tidak puas pada kinerja pemerintah. Mereka menganggap janji politisi sebagai omong kosong dan tidak efektif. Pemilih juga menyebut politisi lebih suka menyelamatkan posisi mereka sendiri ketimbang bekerja aktif melawan ekstremisme.
Survei terbaru menunjukkan bahwa 89 persen pemilih Perancis percaya suara mereka tidak didengar oleh para politisi. Rakyat yang marah dan tidak puas, akan memilih abstain dan membuat Pemilu Perancis 2017 semakin tidak bisa ditebak.