Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah negara memperingatkan Filipina atas dugaan pembunuhan massal di luar hukum dalam perang melawan narkoba yang telah berlangsung sejak Presiden Rodrigo Duterte menjabat.
Dalam sidang sikus ke-3 Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB, di Jenewa, diplomat dari seluruh benua dilaporkan mengecam lonjakan kematian yang terjadi selama operasi anti-narkoba Duterte berjalan.
"Kanada menyerukan Manila untuk mengakhiri pembunuhan di luar hukum, penghilangan secara paksa, penangkapan hingga penyiksaan secara ilegal," bunyi pernyataan delegasi pemerintahan Perdana Menteri Justin Trudeau, Senin (8/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain Ottawa, Australia, Brasil, Perancis, Jerman, dan Ghana merupakan salah satu negara yang turut mengecam tindakan Filipina itu.
Sejak pertengahan 2016 lalu, 2.692 orang dilaporkan tewas di tangan polisi Filipina dalam operasi anti-narkoba. Sekitar 1.847 orang dibunuh oleh pihak yang tidak bisa ditentukan.
Sementara itu, sedikitnya 5.500 terduga kriminal narkoba tewas tanpa melalui proses hukum jelas, di saat penyelidikan berlangsung.
Senator Filipina Alan Cayetano, sekutu Duterte, mencela kecaman terhadap negaranya itu, menganggap kampanye advokat HAM dan media selama ini dilakukan untuk mengubah persepsi upaya anti-narkoba pemerintahnya.
"Tidak ada gelombang pembunuhan di Filipina," ucap Cayetano dalam sidang itu.
Dia mengatakan, beberapa musuh menggunakan "taktik politik" untuk memanipulasi tudingan supaya melemahkan misi Filipina melawan narkoba, "bencana yang selama ini telah meracuni rakyat."
Dalam sidang itu, Cayetano juga menunjukan sebuah klip video, berisikan Duterte yang berjanji memberantas penguasa narkoba di negaranya--sebuah langkah yang tidak biasa dilakukan oleh delegasi negara dalam sidang tersebut.
Sebagai sahabat baru Manila, China menawarkan dukungan terhadap misi pemberantasan narkoba Presiden Duterte, mengatakan narkoba adalah "musuh publik umat manusia."
Diberitakan
AFP, tak hanya China, sekitar 50 pendukung Duterte pun berdiri di depan gedung PBB sambil membawa plakat bertuliskan "Duterte bukan pembunuh massal."