Jakarta, CNN Indonesia -- "Kami bisa menyamar jadi apa pun. Bisa jadi kru film, turis, apa pun, asal warga desa tidak tahu siapa kami sebenarnya," ujar pria bertubuh besar itu, kemudian menaruh telunjuk di ujung bibirnya.
Ia kemudian mengarahkan telunjuknya ke arah rumah-rumah warga desa di tepi pantai Puttalam di Kalpitya, Sri Lanka, membuat seluruh mata menatap ke arah yang sama.
Sejumlah warga menyambut tatapan itu dengan senyum sambil membawa ikan hasil tangkapan. Di depan gubuk-gubuk tempat menyetor tangkapan, terlihat pula warga yang sedang bersantai merajut jala ikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mereka mungkin tidak sesantai itu jika kami tak memperkenalkan diri dengan baik," ujar pria itu yang kemudian menjulurkan tangannya dan memperkenalkan diri, Prasanna Weerakkody, dari Ocean Resources Conservation Association (ORCA).
Para nelayan di Puttalam, Sri Lanka, setelah menyetor hasil tangkapan ke sentra ikan. (CNN Indonesia/Hanna Azarya Samosir) |
ORCA datang ke desa itu sekitar tiga tahun lalu untuk melaksanakan program Konservasi Dugong, salah satu spesies yang dimasukkan ke dalam kategori langka oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Dengan biaya dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) sebesar US$4,88 juta, mereka ditugaskan untuk menggencarkan upaya konservasi dugong di Sri Lanka, termasuk perlindungan rumput laut sebagai makanannya, terhitung mulai 2015 hingga 2018.
Ketika datang ke desa tersebut, mereka membawa sejumlah perangkat teknologi mutakhir untuk melacak keberadaan dugong. Mulai dari drone hingga pelacak termal, semua alat canggih sudah aman di dalam tas bawaan.
Namun, mereka harus menyatu dengan lingkungan agar warga leluasa memberikan informasi mengenai keberadaan hewan yang juga biasa disebut duyung ini. ORCA harus dapat merebut kepercayaan warga agar mereka mau memberi keterangan apa adanya.
 Prasanna Weerakkody, koordinator Ocean Resources Conservation Association (ORCA), memaparkan kesulitan memperkenalkan teknologi ke warga di pesisir Puttalam. (CNN Indonesia/Hanna Azarya Samosir) |
Perlahan, tim ORCA dapat berkomunikasi dengan warga, menanyakan kemungkinan mereka pernah melihat dugong. Warga bahkan mulai terbuka dan mengaku sempat mendengar rumor sejumlah nelayan menangkap dugong untuk dijual di pasar gelap.
Menurut perwakilan dari UNEP, Max Zieren, dugong juga biasanya menjadi korban dari aktivitas biadab manusia, mulai dari penangkapan ikan dengan cara ilegal hingga pembangunan industri di pesisir.
Lambat laun, warga mengerti pentingnya menjaga hewan langka. Mereka pun turut prihatin ketika salah satu rekan kerja dalam proyek konservasi ini, National Aquatic Resources Research and Development Agency Sri Lanka (NARA), melaporkan ada 13 dugong tewas sepanjang tahun 2016.
"Namun, hingga saat ini, tidak ada yang pernah melihat langsung dugong hidup, baik itu penduduk, maupun saya sendiri," tutur Weerakkody lirih.
Manajer Proyek IUCN Sri Lanka, Arjan Rajasurya, mengatakan bahwa keberadaan dugong sulit dilacak karena mereka merupakan hewan yang sangat tertutup. Mereka biasanya hanya berdiam di dasar laut, sambil sesekali melahap rumput di perairan itu.
Hingga saat ini, tim konservasi ini bahkan belum berhasil menghimpun banyak informasi mengenai jumlah dugong di Sri Lanka. Tim konservasi ini juga tak memiliki banyak data mengenai pergerakan dan kebiasaan dugong.
"Dugong itu bisa saja ada di bawah kapal, tapi kalian tidak akan tahu keberadaan mereka karena mereka tidak akan melompat ke permukaan seperti lumba-lumba, atau mencipratkan air seperti paus," katanya.
Weerakkody pun perlahan memperkenalkan sejumlah teknologi mutakhir untuk melacak keberadaan dugong. Mereka memasang kamera canggih di badan drone tersebut sebagai radar pemantau.
"Ini adalah mesin pro robotik Phantom yang dipasangi kamera yang dapat merekam video dengan resolusi 2K, tiga kali lipat lebih jernih dari TV HD," ucap Weerakkody sembari mengutak-atik tombol di alat pengendali drone tersebut.
Secara teknis, Weerakkody yang akan menerbangkan drone tersebut. Dalam setiap operasi pemantauan, ia mengajak satu temannya yang akan memegang layar pemantau. Layar itu menerima sinyal gambar dari kamera tersebut.
Jika kamera menangkap satu citra yang menyerupai dugong, tim akan menandai tempat itu. Idealnya, jika sudah menangkap citra di daerah yang sama berulang kali, mereka akan mengirimkan kapal dengan sensor sonar ke sana.
Weerakkody menjelaskan, sonar pada dasarnya merupakan perangkat pendeteksi objek di bawah permukaan laut. Alat ini akan mengirimkan suara ke dasar laut yang kemudian dipantulkan kembali.
"Suara yang dipantulkan jika membentur objek yang mengambang akan berbeda jika dibandingkan dengan suara yang dipantulkan ketika suara hanya mengenai dasar laut. Jika sonar mendeteksi objek besar mengambang di dekat dasar laut, kemungkinan besar itu adalah dugong," kata Weerakkody.
Namun hingga kini, tim konservasi ini belum menemukan satu pun dugong menggunakan kedua alat canggih ini. Mereka pun berupaya mencari alternatif teknologi lain.
Hingga akhirnya, seorang manajer proyek dari Kementerian Konservasi Alam Sri Lanka, Channa Suraweera, turun tangan.
Berbekal pengalaman bekerja di perusahaan teknologi, ia mengembangkan aplikasi ponsel yang dapat digunakan oleh nelayan untuk melapor jika melihat hewan ketika sedang melaut.
Di halaman depan aplikasi tersebut, terpampang tampilan tombol pilihan hewan yang dilihat, bisa jadi dugong, lumba-lumba, paus, atau binatang laut lainnya.
"Ini adalah aplikasi Smart Survey. Jika nelayan melihat dugong, misalnya, mereka bisa langsung klik dugong, lalu unggah foto objek yang mereka lihat, dan kirim. Mudah, bukan?" kata Suraweera.
 Sistem pelaporan ini akan membantu tim konservasi untuk memetakan perkiraan lokasi dugong, yang diduga banyak berkumpul di Teluk Mannar. (CNN Indonesia/Hanna Azarya Samosir) |
Laporan ini akan masuk ke server Kementerian Konservasi Alam Sri Lanka. Sistem pelaporan ini akan membantu tim konservasi untuk memetakan perkiraan lokasi dugong, yang diduga banyak berkumpul di Teluk Mannar.
"Misalnya, kami menerima banyak laporan dugong di sekitar daerah A. Berarti kemungkinan ada populasi dugong di sana. Kami akan kirim tim untuk meneliti," tutur Suraweera.
Tak hanya temuan hewan laut, nelayan juga dapat melaporkan jika melihat orang lain menangkap ikan dengan metode yang dilarang.
"Contohnya, mereka lihat nelayan menjaring ikan dengan pukat harimau, atau dengan bom, mereka bisa foto dan laporkan," tutur Suraweera.
Dengan semringah, Suraweera membeberkan mimpinya mengembangkan aplikasi ini menjadi pusat pelaporan terpadu dalam upaya konservasi alam di seluruh Sri Lanka.
"Sangat mudah mengembangkan aplikasi ini. Nantinya, bisa banyak tombol pelaporan yang bisa kami sediakan. Pada akhirnya, kami dapat membuat sistem terpadu untuk perlindungan alam Sri Lanka," kata Suraweera.