Jakarta, CNN Indonesia -- Duta Besar China untuk Indonesia, Xu Bu, menegaskan sengketa Laut China Selatan murni merupakan masalah Beijing dan beberapa negara di Asia Tenggara, mengenai kedauatan teritorial dan perairan.
Xu mengatakan, masalah LCS sama sekali tidak mempengaruhi hubungan kerja sama antara China dan ASEAN yang telah berjalan selama 26 tahun.
“Ini bukan masalah China dan ASEAN. Isu Laut China Selatan selama ini telah dimanipulasi sejumlah negara untuk meracuni kerja sama di kawasan dan merusak hubungan ASEAN-China,” tutur Xu dalam seminar internasional bertemakan hubungan ASEAN-China di Jakarta, Jumat (14/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak 90 persen wilayah LCS diklaim oleh China, perairan itu menjadi salah satu kawasan yang sangat rentan konflik. Klaim China tumpang tindih dengan pengakuan sejumlah negara lain di Asia Tenggara, seperti Filipina, Brunei, dan Malaysia.
Karena itu, ASEAN bersama China berupaya membentuk kode etik perilaku atau Code of Conduct (CoC) sebagai pedoman perilaku setiap negara terhadap perairan dengan jalur perdagangan laut utama mencapai US$5 triliun per tahun, atau sepertiga dari total perdagangan global ini.
Rencana pembentukan CoC sebenarnya telah ada sejak 2002 lalu dalam Declaration of Conduct of Parties in the South China Sea antara ASEAN dan China. Namun, kerangka CoC baru berhasil disahkan oleh kedua pihak setelah 15 tahun bernegosiasi, tepatnya Mei 2017 lalu.
Pengesahan kerangka CoC ini diharapkan menjadi awal baik bagi ASEAN dan China untuk menyelesaikan dan mengimplementasikan kode etik tersebut ke depannya.
Xu berharap, Beijing dan ASEAN bisa selalu menemukan kesamaan dan mengesampingkan perbedaan untuk secara tepat menangani setiap masalah yang sedang dihadapi.
“Satu-satunya solusi masalah LCS ini hanya bisa ditemukan dengan cara yang tulus dan kooperatif, serta sikap visioner dari seluruh pihak terkait mengingat keseluruhan tujuannya adalah memperkuat hubungan strategis ASEAN-CHina,” kata Xu.
China memang merupakan salah satu negara yang memiliki kedekatan erat dengan ASEAN sejak 1991 lalu, saat menteri luar negeri China pada waktu itu, Qian Qichen, menghadiri pertemuan menteri luar negeri ASEAN ke-24 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Lima tahun kemudian, China menjadi partner dialog organisasi regional tersebut. Negeri Tirai bambu juga menjadi partner ASEAN pertama dalam perjanjian perdagangan bebas (CAFTA). Kini, China juga menjadi partner dagang ASEAN terbesar.
“Sejak itu, kerja sama antara China dan ASEAN terus menguat. Volume perdagangan China-ASEAN mencapai US$452,2 miliar pada 2015 lalu, hampir 51 kali lebih besar dibandingkan tahun 1991,” ucap Xu.
 China mengklaim 90 persen wilayah di Laut China Selatan yang tumpang tindih dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. (Reuters/CSIS Asia Maritime Transparency Initiative) |
Masih Ada KeraguanSejumlah pengamat menuturkan, salah satu yang terpenting untuk menguatkan hubungan ASEAN-China adalah meningkatkan rasa saling percaya antar kedua belah pihak.
Sebab, meski analisis menunjukan sebagian besar negara ASEAN memandang kedekatan China sejauh ini membawa pengaruh positif, masih ada sejumlah keraguan dan kecurigaan anggota ASEAN terhadap agenda dari negara dengan ekonomi kedua terbesar di dunia ini, di kawasan.
“Kerja sama ekonomi antar kedua belak pihak mungkin kuat, tapi ini tidak cukup mempengaruhi pandangan politik dan keamanan ASEAN terhadap China. Apalagi dengan adanya sengketa LCS yang kembali memanas, ini meningkatkan persepsi negara akan agresivitas China,” tutur Peter Ngeow dari Institute of China Studies, University of Malaya, Malaysia.
Menurut Ngeow, kerja sama ekonomi tak cukup untuk meningkatkan saling percaya antara kedua belah pihak. ASEAN-China, tutur Ngeow, mesti mulai berpikir untuk meningkatkan kerja sama ke level yang lebih strategis lagi, seperti kerja sama keamanan.
“Kerja sama keamanan bisa mengurangi kecurigaan antara masing-masing negara ASEAN dan China. Sebab, kerja sama keamanan menandakan bahwa tujuan dan kepentingan mereka soal stabilitas keamanan itu sejalan. Ini bisa mengurangi persepsi untuk tidak melihat China sebagai ancaman lagi, tapi lebih kepada kesempatan dan teman strategis,” kata Ngeow.