Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Rex Tillerson, mendesak Panglima Militer Myanmar, Min Aung Hlaing, untuk mendukung pemerintahnya mengakhiri kekerasan terhadap etnis minoritas di Rakhine, terutama Rohingya.
Melalui telepon, Tillerson turut menyatakan keprihatinan AS atas kekejaman yang dilaporkan terjadi di wilayah itu sejak akhir Agustus lalu sehingga memicu eksodus ratusan ribu Muslim Rohingya ke Bangladesh.
Dia juga meminta Hlaing untuk menjamin perlindungan bagi para pengungsi Rohingya yang ingin kembali ke kampung halamannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Menlu Tillerson mendesak pasukan bersenjata Myanmar untuk mendukung pemerintah mengakhiri kekerasan di Rakhine dan mengizinkan para pengungsi yang melarikan diri karena krisis untuk kembali ke rumahnya dengan aman, terutama sejumlah besar etnis Rohingya,” ucap juru bicara Kemlu AS, Heather Nauert, seperti dikutip AFP, Jumat (27/10).
Myanmar terus berada di bawah tekanan dunia internasional sejak bentrokan antara militer dan kelompok bersenjata Rohingya pecah pada 25 Agustus lalu.
Militer Myanmar melakukan operasi pembersihan yang dilaporkan tak hanya menyasar kelompok bersenjata, tapi juga sipil Rohingya hingga menewaskan sekitar 1.000 orang dan menyebabkan lebih dari 500 ribu lainnya kabur ke Bangladesh.
Dalam percakapannya, Tillerson pun mendesak Hlaing untuk memfasilitasi bantuan kemanusiaan bagi para warga di Rakhine yang terkena dampak konflik.
Dia juga mendorong militer Myanmar untuk bekerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam menyelidiki dugaan pelanggaran HAM dan meminta pemerintah setempat membuka akses media ke pusat konflik.
Dalam beberapa waktu terakhir, AS terus mempertegas sikapnya dalam merespons krisis kemanusiaan di Myanmar yang masih berlanjut ini.
Diberitakan Reuters, Kemlu AS bahkan tengah mempertimbangkan untuk secara resmi menganggap konflik kemanusiaan tersebut sebagai upaya pemusnahan etnis, yang selama ini telah digaungkan PBB.
Gedung Putih juga sedang mempertimbangkan rencana penjatuhan sanksi terhadap oknum di Myanmar yang diduga terlibat dalam kekerasan di Rakhine, berdasarkan Undang-Undang Global Magnitsky.
Sikap tegas ini muncul seiring dengan rencana kunjungan Presiden Donald Trump ke Asia awal November mendatang.
Meski Myanmar tak masuk dalam daftar 12 hari lawatannya ke Asia itu, Trump dijadwalkan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Manila, Filipina, yang diperkirakan akan menyorot konflik kemanusiaan di Rakhine.