Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Filipina mencabut izin operasi situs berita
Rappler pada Senin (15/1), keputusan yang disebut sejumlah kritikus sebagai upaya Presiden Rodrigo Duterte untuk membungkam kebebasan pers.
Komisi Bursa Efek (SEC) menyatakan bahwa sertifikat operasi Rappler dan Rappler Holdings Corp dicabut karena perusahaan itu melanggar satu ketentuan dalam konstitusi Filipina yang mengatur kepemilikan media oleh warga Filipina.
"Keduanya ada tak lain dan tak bukan hanya untuk menjalankan skema penipuan untuk menggagalkan konstitusi," demikian pernyataan SEC, sebagaimana dikutip
AFP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Redaktur pelaksana
Rappler, Chay Hofilena, mengatakan bahwa pihaknya akan mengajukan banding atas putusan yang akan berlaku dalam 15 hari ke depan itu.
"Ini adalah pelanggaran, serangan pemungkas dari serangan-serangan terhadap kami sejak 2016," demikian pernyataan resmi
Rappler.
Dalam pernyataan tersebut,
Rappler juga menyebut Duterte sebagai salah satu pihak yang melakukan serangan terhadap institusi itu.
Duterte memang sudah lama mengancam akan menguak "kepemilikan Amerika" dalam tubuh
Rappler. Kasus ini bermula ketika Rappler Inc. mengizinkan pihak yang disebut pemerintah sebagai pihak asing untuk berinvestasi dalam skema Philippines Depositary Receipts.
Depository Receipts sendiri merupakan
instrumen keuangan yang dikeluarkan oleh bank untuk mewakili sekuritas publik perusahaan asing.Namun, keputusan untuk mencabut izin
Rappler ini dianggap sebagai upaya Duterte untuk membungkam media yang mengkritik perang narkoba kontroversial di negara itu.
Kampanye tersebut dicanangkan Duterte sejak pertama kali menjabat sebagai presiden Filipina dua tahun lalu. Sejak saat itu, sekitar 4.000 tersangka pengedar narkoba dilaporkan tewas di tangan polisi tanpa proses peradilan yang jelas.
[Gambas:Video CNN]Sejumlah media memberitakan kritik yang dilontarkan berbagai pihak terkait kampanye tersebut, termasuk
Rappler,
Inquirer, dan
ABS-CBN.
Maret tahun lalu, Duterte menyebut
Inquirer dan
ABS-CBN sebagai "anak-anak pelacur" dan memperingatkan mereka akan bahaya karma karena kritik media tersebut terhadap perang narkoba.
"Saya tidak mengancam mereka, tapi suatu hari nanti, karma akan datang pada mereka. Mereka tidak tahu malu, para jurnalis anak-anak pelacur itu," ucap Duterte.
Empat bulan berselang,
Inquirer mengumumkan bahwa jajaran pemilik perusahaan itu tengah mempertimbangkan untuk menjual publikasi mereka.
Seorang pebisnis besar yang mendukung kampanye pemilihan umum Duterte pada 2016 lalu kemudian mengumumkan bahwa dia akan membeli
Inquirer.
Sementara itu, Duterte mengancam akan menggagalkan aplikasi
ABS-CBN untuk membarui izin operasi perusahaan tersebut di Filipina yang harus disetujui oleh Kongres.
Melihat pergerakan baru pemerintah Filipina dengan mencabut izin
Rappler ini, Serikat Nasional Jurnalis Filipina menyatakan, "Ini hanya salah satu dari banyak ancaman Duterte yang mengkritik pemerintahannya, seperti
Philippine Daily Inquirer dan jaringan penyiaran
ABS-CBN."
Melanjutkan pernyataannya, serikat tersebut menulis, "Kami menyerukan kepada seluruh jurnalis Filipina untuk bersatu dan melawan segala upaya untuk membungkam kita."
[Gambas:Video CNN]Senator dari kubu oposisi, Risa Hontiveros, pun mengatakan bahwa keputusan pemerintah ini merupakan "pelanggaran dan serangan yang jelas terhadap kebebasan pers."
Menanggapi kisruh ini, juru bicara kepresidenan, Harry Roque, mengatakan bahwa pemerintah menghargai keputusan SEC.
"[Rappler] dapat melakukan segala cara legal hingga keputusan final," katanya.
Di akhir pernyataannya,
Rappler sendiri menyatakan, "Kami akan terus membawakan berita, membuat para penguasa mempertanggungjawabkan tindakan dan keputusannya, menyoroti penyimpangan pemerintah yang nantinya dapat menyebabkan kerugian."
(has)