Jakarta, CNN Indonesia -- Organisasi pemerhati hak asasi manusia Amnesty International menyebut penganiayaan terhadap etnis minoritas Rohingya Myanmar masih berlangsung di tengah rencana repatriasi para pengungsi yang ada di Bangladesh.
Kekerasan dan pembunuhan Rohingya oleh aparat Myanmar memaksa ratusan ribu orang mengungsi melintasi perbatasan ke Bangladesh. Kedua negara telah sepakat untuk merepatriasi mereka, dengan syarat para pengungsi bisa membuktikan domisilinya di negara asal.
Menurut Amnesty dalam keterangan yang diterima
CNNIndonesia.com pada Kamis (8/2), bukti-bukti baru mengonfirmasi "pembersihan etnis" Rohingya oleh militer Myanmar terus dilakukan dalam beberapa pekan terakhir dengan berbagai cara, seperti penganiayaan, pemaksaan kelaparan dan penculikan perempuan dan anak-anak perempuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada akhir Januari 2018, Amnesty mewawancarai 19 orang laki-laki dan perempuan di Bangladesh. Mereka menceritakan kelaparan, penculikan dan penjarahan properti memaksa mereka melarikan diri.
Menurut organisasi tersebut, ada ribuan pendatang baru selama Desember dan Januari. Sementara pada beberapa hari terakhir ada sejumlah orang yang masih melintasi perbatasan.
"Militer Myanmar terus menampik tuduhan atas kejahatan kemanusiaan," kata Matther Wells, Penasihat Krisis Senior di Amnesty International yang baru kembali dari penelitian di kamp pengungsi Cox's Bazar, Bangladesh.
"Pasukan keamanan Myanmar tengah merancang strategi untuk secara diam-diam mengusir etnis Rohingya yang tersisa. Tanpa adanya tindakan internasional yang lebih efektif, gerakan pembersihan etnis ini akan semakin memperburuk keadaan."
Menurut organisasinya, "penindasan" yang terus berlangsung dirancang untuk membuat Rakhine, tempas asal para Rohingya, tidak bisa lagi dihuni.
Pengungsi yang baru datang ke Bangladesh, kata Amnesty, mengatakan mereka lebih memilih menetap di Myanmar untuk melindungi properti dan hak menempati tempat tinggalnya.
Namun, penganiayaan yang terus berlangsung akhirnya mematahkan tekad dan memaksa mereka bergabung dengan ratusan ribu pengungsi lain di Bangladesh.
"Hampir semua dari mereka menuduh kelaparan paksa terhadap penduduk Rohingya yang tersisa telah menciptakan keresahan terkait ketahanan pangan dan memaksa mereka untuk pergi," kata Amnesty International.
 Ilustrasi pengungsi Rohingya. (REUTERS/Adnan Abidi) |
Kesaksian pengungsi mengungkapkan bahwa kelaparan paksa terjadi ketika militer memblokir akses ke sawah saat musim panen, November dan Desember lalu. Selain itu, aparat juga memfasilitasi pencurian ternak dan membakar pasar lokal.
"Tindakan itu semua telah mengakibatkan kekurangan pangan dan menutup mata pencaharian penduduk Rohingya."
Hal itu diperparah dengan pembatasan bantusan kemanusiaan ke Rakhine Utara.
Amnesty International juga mendokumentasikan tiga insiden yang terjadi baru-baru ini terkait tindakan tentara militer yang menculik perempuan dan anak perempuan.
Penghilangan PaksaPada awal Januari, pasukan Myanmar menggeruduk sebuah rumah di Desa Hpoe Khaung Chaung, Buthidaung. Saat itu, Hasina (25), seorang warga yang diwawancarai Amnesty, mengatakan tentara menodongkan senjata dan memaksa pamannya menyerahkan salah seorang sepupu yang berusia 15 tahun.
Hingga saat ini, menurutnya, mereka belum bertemu dengan gadis itu lagi. Hal yang sama juga menimpa perempuan dan anak perempuan yang diculik dan dihilangkan secara paksa.
Penghilangan paksa itu menjadi salah satu alasan para pengungsi etnis minoritas Muslim meninggalkan tempat tinggalnya.
"Mengingat kekerasan seksual yang terus meningkat dan juga gerakan militer untuk memusnahkan etnis Rohingya di negara bagian Rakhine Utara, penculikan terhadap perempuan dan anak perempuan menimbulkan kekhawatiran yang serius akan pemerkosaan dan perbudakan massal."
(aal)