Jakarta, CNN Indonesia -- Afiliasi kelompok teror al-Qaidah, al-Shabaab, meraup miliaran dolar per tahunnya lewat eksploitasi dana bantuan dari negara-negara Barat dalam misi menghapuskan grup teror tersebut.
Investigasi
CNN membongkar bagaimana uang yang harusnya PBB berikan langsung ke negara terlantar konflik dan kelaparan itu dapat berakhir di tangan organisasi teroris tertua di Afrika.
Beberapa orang bekas anggota al-Shabaab dan agen intelijen Somalia mengatakan kelompok teror ini berhasil memeras ribuan dolar per hari dengan cara menutup jalan dan menarik paksa pajak dari pedagang makanan dan bahan pokok yang hendak dijual secara lokal ke pengungsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penduduk yang mengungsi dan hidup di lokasi kamp pusat kota Somalia, Baidoa, didata oleh PBB dan diberikan kartu berisi uang tunai sekitar US$80 sampai US$90 per bulan untuk membeli keperluan sehari-hari dari pedagang lokal.
Para pengusaha kini menyalurkan barang jualan mereka dari pasar terbuka ke tempat-tempat seperti Baidoa, di mana pengungsi tiba dan menetap setiap hari. Untuk memindahkan barang bawaan, mereka harus membayar al-Shabaab sebagai kelompok yang menguasai jalan utama menuju kota-kota.
Eks anggota kelompok teror dan agen intelijen Somalia mengungkap dua titik penutupan jalan al-Shabaab yang dapat menghasilkan ribuan dolar dalam sehari dari berbagai kendaraan yang lewat. PBB memperkirakan sekitar US$5,000 dapat diperoleh per hari dari satu barikade di jalan menuju Baidoa.
Para pengumpul 'pajak'Ditemui di sebuah lokasi rahasia di pinggiran Baidoa, seorang eks anggota al-Shabaab membenarkan bahwa pemerasan uang di titik-titik penutupan jalan tersebut adalah salah satu sumber pemasukan terbesar untuk al-Shabaab.
Dia sempat menjadi pengumpul pajak untuk al-Shabaab dan tertangkap dalam penggerebekan Badan Intelejen dan Keamanan Nasional Somalia.
Menurutnya, dua sumber pemasukan terbesar mereka adalah jalan menuju Baidoa dan jalur utama penyambung ibu kota Magadishu dan daerah kaya pertanian wilayah Lower Shabelle.
Keadaan sebenarnya sudah membaik jika dibandingkan situasi 1990-an, saat oknum-oknum lokal mengambil keuntungan dari uang bantuan hingga menyebabkan ratusan ribu penduduk Somalia kelaparan.
Kematian massal di jalanan Baidoa pada 1992 silam memprovokasi Amerika Serikat hingga memimpin intervensi militer multinasional yang didukung oleh PBB di.
Di Baidoa, saat itu, sebuah truk yang disebut Bus Maut mengumpulkan sekitar 100 jasad per hari. Situasi serius ini membuat banyak lembaga bantuan kemanusiaan terpaksa membayar oknum-oknum tersebut demi mendapatkan akses menuju penduduk yang kelaparan.
Diciptakanlah situasi di mana kelaparan terus menerus terjadi, membuat mereka tetap mendapatkan keuntungan hingga negara-negara Barat melakukan intervensi.
Saat itu, organisasi seperti Komite Internasional untuk Palang Merah membutuhkan penjaga bersenjata-mereka menghabiskan US$100,00 per minggu hanya untuk mendapatkan perlindungan di Mogadishu.
Uang tersebut jatuh ke tangan para preman--bukan kepada organisasi teroris internasional, yang lebih tegas jika utang mereka tidak dibayar.
 Suasana pascateror di Mogadishu. (Reuters/Feisal Omar) |
Tahun ini, jika pedagang lokal tidak membayar, "mereka akan ditangkap dan dibunuh," ujar seorang mantan pejuang al-Shabaab yang sempat jadi pengumpul pajak selama delapan tahun sebelum bekerja untuk Badan Intelejen dan Keamanan Nasional Somalia.
Dia menjelaskan bagaimana al-Shabaab bisa mendapatkan US$3 dari setiap karung beras yang diantar ke kota oleh pedagang swasta, mengambil hampir separuh dari sekarung beras yang bisa dijual seharga US$18 di Mogadishu dan US$26 di Baidoa.
Para pedagang juga dipaksa membayar pajak per tahun ke al-Shabaab--bahkan di kota-kota yang tidak sedang dikuasai oleh kelompok itu, seperti Baidoa dan Mogadishu.
Dugaan ini dikonfirmasi oleh pemerintah daerah dan presiden South West State of Somalia, Hassan Sheikh Ada.
Walau mengakui adanya kejahatan tersebut, Michael Keating, ketua perwakilan PBB di Somalia, tetap menyatakan bahwa sebagian besar bantuan luar negeri tetap sampai di tujuan yang diinginkan.
"Sayangnya mereka yang membutuhkan, dan mereka yang jadi sasaran bantuan kemanusiaan, memang menarik bagi orang-orang yang berusaha mendapatkan uang, dan akan muncul berbagai macam bentuk kejahatan," kata pejabat senior PBB yang lama bertugas di Afghanistan dan Timur Tengah itu.
"Hal itu tidak bisa disangkal, tetapi mengambilnya sebagai contoh, dan menyebut responsnya utuhnya seperti ini, akan menyebabkan kesalahpahaman menjijikkan dari apa yang sebenarnya terjadi."
Pembayaran pajak tidak terjadi sebatas di jalanan dan kepada para pengusaha. Penduduk biasa Somalia juga harus membayar uang tahunan ke kelompok al-Qaidah yang bertanggung jawab atas serangan teror di kedutaan besar AS, Kenya dan Tanzania pada 1998 silam dan pembunuhan besar-besaran di Wastgate Mall Nairobi empat tahun lalu.
Fatima Ali Hassan sempat mempunyai puluhan kambing dan sapi. Terpaksa meninggalkan rumah karena kekeringan dan tuntutan uang dari al-Shabaab, ibu dari tujuh anak ini sekarang hidup di tenda pengungsian di Baidoa. Ini hanyalah satu dari puluhan ribu orang yang berakhir singgah di kota penuh kelaparan itu.
Tetapi bahkan setelah di sana, ia dan 270,000 pengungsi lainnya menjadi aset kelompok teror tersebut. PBB takut kekeringan yang terus berlangsung akan sekali lagi mengancam Somalia dengan kelaparan.
Hal itu bisa memberikan al-Shabaab kesempatan yang lebih besar untuk meraup untung dari bantuan luar negeri - terutama jika mereka mempertahankan kuasanya atas rute utama dalam negeri.
Tentara nasional Somalia Terdiri dari sejumlah kelompok bersenjata yang bersaing, dipersatukan oleh harapan tipis agar kelak suatu hari dapat bisa menang melawan para ekstremis.
Untuk sekarang, kekuatan tempur utama negara Somalia adalah 22,000 kontingen kuat Uni Afrika yang selama ini melindungi pemerintahan seumur jagung Mogadishu.
Mereka berupaya merebut kembali daerah selatan dari al-Shabaab. Namun, mereka perlahan menarik diri dan diperkirakan akan keluar dalam waktu dua tahun.
Pemimpin militer Uni Afrika mengaku tidak sanggup mendorong keluar al-Shabaab dari jalan-jalan utama yang memberikan mereka pendapatan yang begitu besar.
"Daripada mengurangi [pasukan Uni Afrika], seharusnya ditingkatkan," ujar Letnan Kolonel Chris Ogwal. "Kami sekarang kewalahan, kami hanya mengadakan operasi serangan kecil."
Ogwal memimpin kontingen Uganda yang mengontrol jalanan antara Mogadishu dan kota kecil Afgoye. Namun, mereka tidak menguasai jalanan sisanya yang menuju Baidoa.
Lokasi itu tetap menjadi arteri keuangan al-Shabaab.
Ogwal mengatakan setiap berkurangnya pasukan Uni Afrika akan menyisakan ruang untuk diisi oleh al-Shabaab.
Ini menyebabkan pasukan Amerika yang perlahan bertambah di negara ini mesti memanggul beban semakin berat. Saat ini, ada lebih dari 500 anggota pasukan AS di Somalia, termasuk pasukan operasi khusus.
Tahun ini adalah peringatan 25 tahun Pertempuran Mogadishu, bentrokan di mana 18 warga Amerika dan lebih dari 1.000 penduduk Somalia tewas saat pasukan khusus Amerika Serikat mencoba menangkap pelaku kejahatan terkuat Somalia saat itu, Mohammed Farrah Aidid.
Gambar-gambar jenazah seorang pilot yang diseret di atas debu-debu ibu kota Somalia dengan cepat menghambat misi yang sebelumnya bertujuan untuk menyampaikan bantuan kemanusiaan. AS pun menarik pasukannya dua tahun kemudian.
Akan tetapi, korupsi dan manipulasi bantuan di Somalia masih bertahan, dan sekarang dilakukan juga untuk mendanai gerakan teroris. Lebih parah, para penyebar teror itu mengendalikan sepertiga negara dan berpotensi menjadi magnet jihadis ISIS yang lari dari Suriah dan Irak.