Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan diktator militer
Guatemala, Efrain Rios Montt, meninggal dunia dalam usia 91 tahun, Minggu (1/4). Tokoh yang memecah belah dalam
perang saudara yang panjang di negeri itu berhasil lolos dari tuduhan genosida pada 2013, tapi menghadapi dakwaan baru tahun lalu.
Di saat kematiannya, pengacara Rios Montt, Luis Rosales mengumumkan bahwa dia kembali diadili terkait kasus genosida paling berdarah dalam konflik Perang Diling 1960-1996.
"Dia mati saat menghadapi pengadilan," cuit mantan Jaksa Agung Guatemala, Claudia Paz y Paz, yang berperan menyeret sejumlah anggota militer yang diduga melakukan kekejaman selama perang sipil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terima kasih kepada para penyintas atas keberanian dan martabat mereka. Semoga hal itu tidak pernah terjadi lagi," tulis Paz y Paz.
Rios Montt memerintah Guatemala sejak tahun 1982-1983. Dia dinyatakan bersalah pada 2013, atas tuduhan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Vonis itu melegakan banyak keluarga korban.
Namun seminggu kemudian, para hakim di pengadilan tinggi Guatemala mencabut hukuman.
Rios Montt akan dimakamkan Senin siang di pemakaman kelas atas di Kota Guatemala yang dikenal sebagai La Villa de Guadalupe dalam sebuah upacara tertutup. Hanya dihadiri oleh pejabat militer, rekan dan kerabat dekat, termasuk putrinya Zuri dan jandanya Teresa.
Zury, seorang politikus konservatif dalam pidato singkatnya tentang sang ayah, menyebut dia sebagai "jenderal dari para jenderal", dan "pemimpin politik yang hebat dan seorang pria yang terhormat". Pidatonya disambut tepuk tangan dan sorak sorak "Viva Rios Montt!".
Sebaliknya sejumlah pengunjuk rasa berkumpul di luar Istana Nasional, di Alun-alun Kota Guatemala sambil memegang spanduk bertuliskan, "Tak akan ada pengampunan."
Di Alun-alun, para demonstran menulis dengan tinta merah: "Rios Montt, pembunuh genosida yang tak akan diampuni rakyat, jangan lupa."
Presiden Jimmy Morales, yang partainya memiliki ikatan kuat dengan militer, menyampaikan bela sunga kepada keluarga Rios Montt.
Mantan Presiden dari kalangan konservatif Alfonso Portilo, kolega partai Rios Montt yang divonis atas tuduhan pencucian uang pada 204 menyatakan dia menghargai pensiunan jenderal itu sebagai seorang teman.
"Saya belajar banyak dari dia dan hidupnya adalah bagian dari sejarah kita," kata Portillo seperti dilansir Reuters. Dia juga menyebut bahwa dirinya dan Rios Montt memiliki perbedaan.
Evangelis Protestan, Rios Montt menjadi anggota Kongres selama hampir dua dekade. Dia baru mundur pada 2012, mengakhiri imunitas sebagai pejabat publik.
Pengadilan Guatemala pada Januari 2012 menuduhnya merencanakan anti-pemberontakan yang menewaskan sedikitnya 1.771 anggota suku Ixil dan menyebabkan ribuan orang mengungsi.
Pengacara Rios Montt, Rosales menyatakan kliennya menegaskan diri tidak bersalah atas tuduhan genosida sampai akhir hayatnya.
Diperkirakan sekitar 200 ribu orang, sebagian besar warga sipil Maya tewas selama perang saudara. Sebanyak 45 ribu lainnya hilang.
Terlahir pada 16 Juni 1926 di dataran tinggi Huehuetenango, Guatemala, Rios Montt ikut dalam kudeta militer yang didukung intel Amerika Serikat Central Intelligence Agency (CIA) pada 1954, menggulingkan presiden yang terpilih secara demokratis, Jacobo Arbenz. Amerika Serikat memandang Arbenz sebagai simpatisan komunis.
Rios Montt menjadi jenderal pada 1972 dan mencalonkan diri sebagai presiden dua tahun kemudian. Dia kalah dan pergi ke Spanyol, menjadi atase militer, sebelum kembali ke Guatemala pada 1977.
Pada Maret 1982, dia memimpin junta yang menggulingkan Presiden Angel Guevara dari kekuasaan.
Rios Montt didiagnosa penyakit demensia atau pikun pada 2015. Pengadilan kasus genosida baru yang diawasi Mahkamah Agung mulai digelar kembali pada 2017. Proses tersebut masih berlangsung saat dia meninggal dunia.
Hector Reyes, seorang pengacara keluarga korban menyatakan proses peradilan masih akan terus berlanjut karena seorang jenderal yang lain, Jose Rodriguez Sanchez masih menghadapi dakwaan. Kematian Rios Montt berarti dia tidak lagi menjadi bagian dari proses tersebut.
Rigoberta Menchu, aktivis Guatemala, dan sekaligus penerima Nobel Perdamaian yang berjuang untuk korban konflik menyatakan kematian sang jenderal memberi sebuah langkah penutup.
"Bagaimana pun bagi kami, para korban, dia telah diadili, dan kejahatan telah ditetapkan," kata dia.
(nat)