Jakarta, CNN Indonesia -- Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengunjungi pusat krisis kekerasan terhadap Rohingya di Myanmar pada Sabtu (28/4).
Diberitakan
AFP, lawatan selama empat hari ini akan diawali dengan kunjungan ke kamp pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh.
Setelah itu, delegasi yang dipimpin oleh Kuwait, Inggris, dan Peru ini rencananya bakal menggunakan helikopter menuju Rakhine, terutama ke empat desa pusat krisis, termasuk Pan Taw Pyin dan Shwe Zar.
Selama lawatan tersebut, Dewan Keamanan PBB juga direncanakan bertemu dengan Perdana Menteri Bangladesh, Sheikh Hasina, dan pemimpin defacto Myanmar, Aung San Suu Kyi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pesannya akan sangat jelas. Komunitas internasional mengikuti situasi dan ingin membantu memperbaikinya. Kami datang untuk melihat bagaimana kami bisa membantu, bagaimana kami bisa mendorong kemajuan," ujar Duta Besar Kuwait, Mansour al-Otaibi.
Otaibi kemudian mengatakan bahwa kunjungan ini sangat penting karena kini ada 700 ribu Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Meski sudah ada perjanjian repatriasi antara Myanmar dan Bangladesh, para Rohingya enggan kembali ke Rakhine jika tidak ada jaminan keamanan.
Gelombang kekerasan ini kembali memanas sejak Agustus lalu, setelah kelompok bersenjata Pasukan Pembela Rohingya Arakan (ARSA) melakukan serangan ke sejumlah pos polisi dan satu pangkalan militer di Rakhine.
Pemerintah Myanmar lantas melakukan operasi pembersihan tanah Rakhine dari ARSA. Namun ternyata, militer tak hanya menarget ARSA, tapi juga membantai Rohingya, hingga menewaskan sekitar 1.000 orang.
Komunitas internasional menuding Myanmar melakukan pembersihan etnis, tuduhan yang selalu ditepis oleh pemerintah setempat.
Meski demikian, pemerintah Myanmar juga dianggap tak banyak bertindak untuk menghentikan penyebab krisis ini.
"Mereka hampir tidak melakukan apa-apa. Jadi, jika lawatan ini dibutuhkan untuk menekan mereka agar bertindak terhadap pembersihan etnis yang mereka ketahui, maka kami akan menanti sebuah resolusi ketika mereka pulang," kata wakil direktur PBB untuk Human Rights Watch.
(has)