Jakarta, CNN Indonesia -- Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi seharusnya mengundurkan diri lantaran dianggap tak mampu menghentikan pembantaian brutal militer terhadap etnis minoritas Rohingya.
"Dia (Suu Kyi) berada dalam posisi bisa melakukan sesuatu. Dia bisa saja tetap diam, atau lebih baik lagi, dia seharusnya bisa mengundurkan diri," kata Kepala Dewan HAM PBB Zeid Ra'ad Al Hussein kepada
BBC seperti dilansir
AFP, Jumat (31/8).
"Tidak perlu ada dia (Suu Kyi) untuk menjadi juru bicara militer Myanmar. Dia tidak perlu mengatakan bahwa apa yang terjadi selama ini dibumbui masifnya informasi yang salah," ucapnya menambahkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kritik tegas Hussein dilontarkan menanggapi hasil laporan Tim Pencari Fakta PBB terbaru awal pekan ini yang menyimpulkan bahwa militer Myanmar terbukti berniat melakukan genosida terhadap Rohingya.
Laporan itu mendesak panglima militer Myanmar, Mayor Jenderal Min Aung Hlaing dan lima jenderalnya diadili atas tindakan genosida terhadap Rohingya.
Dokumen itu juga menyebut Suu Kyi, peraih Hadiah Nobel Perdamaian, gagal mengunakan "kewenangan moralnya" untuk melindungi etnis minoritas dengan membiarkan ujaran kebencian dan persekusi menargetkan Rohingya di Rakhine dan sejumlah wilayah lainnya.
Laporan itu dirilis setelah tim pencari fakta membuka penyelidikan sejak akhir tahun lalu sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan di Rakhine yang memburuk pada Agustus 2017 lalu.
Tim pencari fakta berhasil mewawancarai sedikitnya 875 korban dan saksi mata di perbatasan Bangladesh serta beberapa negara lain hingga akhirnya mengambil kesimpulan dalam laporan tersebut.
Tim yang terdiri atas lima panelis independen itu juga ikut menganalisis dokumen, foto satelit, gambar, hingga rekaman video terkait krisis kemanusiaan itu.
Krisis kemanusiaan dipicu oleh operasi pembersihan yang disebut militer dilakukan untuk menangkap "teroris Rohingya" yang sempat menyerang belasan pos keamanan di wilayah itu.
Alih-alih menangkap pelaku, militer diduga mengusir, membunuh, hingga membakar desa-desa Rohingya di Rakhine hingga memicu sedikitnya 700 ribu etnis tersebut melarikan diri ke perbatasan Bangladesh.
Sejak itu, Suu Kyi, salah satu pelopor demokrasi dan HAM di Myanmar, terus menjadi sorotan dunia internasional lantaran dianggap tutup mata terkait persekusi warga negaranya sendiri.
Bukannya membuka penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM di negaranya, Suu Kyi malah menyebut "gunung es informasi yang salah" telah mengaburkan gambaran nyata terkait tragedi yang terjadi di Rakhine.
Meski dia berstatus sebagai pemimpin
de facto negara, pemerintahan sipil Suu Kyi tidak memiliki kontrol terhadap militer Myanmar yang pernah berkuasa di negara itu selama 49 tahun.
(nat)