Jakarta, CNN Indonesia -- Puluhan keluarga pengungsi
Rohingya kabur dari kamp-kamp penampungan di
Bangladesh untuk menghindari pemulangan ke
Myanmar setelah nama mereka masuk dalam daftar repatriasi.
"Sebagian besar orang dalam daftar itu telah melarikan diri untuk menghindar dipulangkan," kata Abdus Salam, seorang pemimpin Rohingya, di kamp Jamtoli.
Salam mengatakan bahwa sebagian besar dari mereka melarikan diri ke kamp tetangga karena takut dipaksa kembali ke Myanmar.
Seorang pengungsi juga mengaku kabur dari kamp Jamtoli ke kamp Kutupalong untuk menghindari pemulangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Orang-orang takut teridentifikasi. Mereka juga menghindari salat Jumat di masjid," katanya.
Pada Oktober lalu, Bangladesh dan Myanmar sepakat untuk memulai pemulangan ratusan ribu pengungsi Rohingya yang melarikan diri akibat genosida oleh militer di Myanmar.
Kesepakatan ini tetap berjalan meskipun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa kondisi di wilayah Rakhine masih belum kondusif.
Menteri Sosial Myanmar, Win Myat Aye, mengatakan bahwa pihaknya sudah mempersiapkan logistik untuk membawa 2.251 orang ke tempat transit dengan perahu pada Kamis mendatang.
Sementara itu, 2.095 orang Rohingya lainnya akan menyusul dalam kloter dua yang berangkat melalui jalur darat.
Pada pekan lalu, lebih dari 20 muslim Rohingya di daftar pengungsi menolak untuk kembali ke Rakhine karena ketakutan.
Badan PBB untuk pengungsi (UNHCR) menyatakan bahwa kaum Rohingya seharusnya diizinkan untuk pergi dan melihat kondisi di Myanmar sebelum memutuskan untuk kembali atau tidak.
Bangladesh juga menyatakan bahwa negara mereka tidak akan memaksa kaum Rohingya untuk kembali ke Myanmar.
"Pengembalian akan bersifat sukarela. Tidak ada yang akan dipaksa untuk kembali," kata Abul Kalam, Komisioner Repatriasi, Bantuan, dan Pengungsi Bangladesh.
Menurut Amnesty International, lebih dari 750 ribu pengungsi Rohingya yang terdiri dari anak-anak dan perempuan melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh pada Agustus 2017.
Mereka kabur dari Myanmar untuk melarikan diri dari diskriminasi, pembunuhan, hingga pemerkosaan oleh militer di negara bagian Rakhine.
(cin/has)