Jakarta, CNN Indonesia -- Hubungan bilateral
Indonesia dan
China terlihat semakin erat di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (
Jokowi), terutama dalam hal kerja sama investasi, perdagangan, dan pariwisata. Padahal di sisi lain, banyak pihak justru mengkhawatirkan ekspansi ekonomi China bisa membuat negara lain terjerumus dalam jerat utang.
Di awal kepemimpinan Jokowi pada 2015 lalu, nilai perdagangan China-Indonesia melejit menjadi US$48,2 miliar jika dibandingkan pada 2005 lalu yang hanya mencapai US$8,7 miliar.
Kini, China juga menggantikan Jepang sebagai mitra dagang terbesar Indonesia. Di era Jokowi, pemerintah menggandeng China untuk berinvestasi di sejumlah proyek infrastruktur besar negara, salah satunya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia membidik lebih banyak investasi China masuk hingga menempatkan Negeri Tirai Bambu kini sebagai investor asing terbesar ketiga bagi negara setelah Singapura dan Jepang.
"Memang kita (Indonesia) punya hubungan yang lebih mesra dengan China sekarang, ini tak lepas dari kesepakatan penguatan kemitraan kerja sama bilateral yang naik ke level
comprehensive strategic pada 2013 lalu. Jadi ya tak heran (kalau relasi Indonesia-China mendekat) karena perjanjian itu kan harus diimplementasikan," kata ahli politik internasional Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, saat dihubungi
CNNIndonesia.com pada Rabu (16/10) lalu.
Dalam hubungan pemerintahan, menurut Rezasyah kedua negara juga semakin dekat dalam hal pemerintahan. China menjadi salah satu negara pertama yang menyatakan akan mengirim pejabat tingginya saat pelantikan Jokowi untuk periode kedua pada 20 Oktober nanti.
"Tanggal 20 Oktober nanti Wakil Presiden China, Wang Qishan akan datang ke pelantikan Jokowi. Ini menunjukkan keseriusan dan kedekatan kedua negara," kata Rezasyah.
Meski kerja sama ekonomi berkembang signifikan, Wakil Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dewi Fortuna Anwar, dalam sebuah artikel jurnal menilai kedekatan Indonesia-China masih rumit bagi pemerintah. Bahkan tak jarang menjadi bumerang bagi Jokowi karena sentimen politik dalam negeri di tanah air terhadap Tiongkok.
Dalam jurnal berjudul
Indonesia-China Relations: To be Handled with Care yang dirilis ISEAS Yusof Ishak Institute, Dewi menyatakan banyak pihak di Indonesia khawatir bahwa kebangkitan ekonomi China dan arus modalnya tidak memberikan manfaat berarti terhadap kemajuan ekonomi di Indonesia. Dia malah khawatir yang terjadi malah sebaliknya.
 Presiden China, Xi Jinping, dan Presiden Joko Widodo. (Dok. Kementerian Luar Negeri) |
Walau nilai perdagangan bilateral terus melejit, ekspor Indonesia ke China masih kalah dengan jumlah barang impor Negeri Tirai Bambu yang masuk ke pasar lokal. Hal itu memicu kekhawatiran bahwa ekspansi barang China ke Indonesia dapat mengganggu pertumbuhan produk lokal hingga menggerus lapangan pekerjaan warga Indonesia.
Selain itu, sejumlah proyek infrastruktur Indonesia yang dibangun dengan pinjaman modal dari China turut memunculkan kekhawatiran bahwa para perusahaan Tiongkok juga akan memboyong tenaga kerjanya ke Indonesia.
Berita palsu terkait kabar bahwa ada 10 juta tenaga kerja China masuk secara ilegal ke Indonesia pada 2017 lalu bahkan sempat mengguncang publik dalam negeri.
Karena itu, menurut Dewi, Jokowi harus berhati-hati dalam menggambarkan kedekatan Indonesia dengan China.
"Meski hubungan bilateral semakin dekat antara Jakarta dan Beijing, Indonesia berupaya bermain aman dalam menggambarkan ambivalensi yang mendalam terhadap China dan menghindari terlihat terlalu dekat dengan China," tulis Dewi.
[Gambas:Video CNN]Senada dengan Dewi, peneliti International Institute for Strategic Studies yang berbasis di Singapura, Aaron Connelly, juga menganggap hubungan dengan China merupakan dilema bagi Jokowi di awal kepemimpinannya.
Menurut Aaron, di satu sisi kedekatan dengan China akan mendatangkan arus investasi yang mampu mewujudkan ambisi Jokowi membangun infrastruktur dan membuka lapangan pekerjaan.
Akan tetapi, di sisi lain dan di saat bersamaan, hal itu bisa memicu penilaian bahwa Indonesia akan semakin tergantung terhadap China.
Selain karena faktor ekonomi, agresivitas China di Laut China Selatan juga dianggap menjadi salah satu penyebab Jokowi enggan terkesan terlalu dekat dengan pemerintahan Presiden Xi Jinping.
Sejak China mengklaim hampir 90 persen wilayah Laut China Selatan, perairan tersebut menjadi titik paling rawan konflik saat ini. Klaim China tersebut bertentangan dengan sejumlah negara Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, Brunei, hingga Malaysia yang juga menyatakan berhak mengelola perairan tersebut.
Meski Indonesia tak bersengketa dalam konflik Laut China Selatan, tetapi pemerintah melihat sikap agresif China di perairan itu sebagai pertanyaan apakah kebangkitan negara tersebut akan terus berlangsung damai atau tidak.
"Jokowi selalu sangat berhati-hati untuk tidak mengkritik China dalam hampir segala situasi dan keadaan. Dia terperangkap antara batu dan tempat keras," kata Aaaron seperti dikutip
Bloomberg.
Walau muncul kekhawatiran, pemerintah menyatakan kedekatan dengan China tidak harus dipandang miring atau bahkan disalahartikan. Sebab menurut mereka, Indonesia tetap memiliki landasan hukum dan prinsip terkait dengan politik luar negeri dan mekanisme proses pemerintahan yang tidak tunduk atau diintervensi pihak asing.
"Indonesia dekat tidak hanya dengan RRT, tapi dengan berbagai negara di dunia. Indonesia berhubungan secara terhormat dengan negara manapun, tidak pernah inferior. Politik luar negeri Indonesia tetap di jalur bebas aktif dengan kemandirian untuk mengambil sikap," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, kepada
CNNIndonesia.com.
(rds/ayp)